Keran Ekspor Bijih Bauksit Seharusnya Tidak Boleh Lagi Dibuka
keran ekspor bijih bauksit seharusnya tidak boleh lagi dibuka karena pengalaman buruk
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA– Spekulasi terkait dibukanya keran ekspor bauksit telah dikonfirmasi pemerintah dengan menegaskan tidak akan membuka larangan ekspor bauksit tersebut.
Keputusan pemerintah itu patut dihormati dan diapresiasi karena merupakan langkah tegas dan konsisten demi mendukung implementasi kebijakan hilirisasi yang berdampak pada peningkatan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat.
Seharusnya langkah tersebut juga diberlakukan bagi komoditas mineral lainnya tanpa pengecualian sehingga tidak terkesan ada kebijakan yang diskriminatif terhadap satu komoditas dengan komoditas lainnya.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengungkapkan, keran ekspor bijih bauksit tidak boleh lagi dibuka karena pengalaman buruk adanya lonjakan besar-besaran ekspor bauksit pada 2013. Ketika itu menjelang kebijakan larangan ekspor diberlakukan, angka ekspor bauksit meningkat tajam.
Pemerintah harus tetap konsisten menerapkan kebijakan larangan ekspor. Jika pemerintah ingin membangun industri hilir berbasis pertambangan maka tidak boleh ada relaksasi ekspor.
“Pemerintah telah memenangkan gugatan di MK yang dilakukan Apemindo, malah sekarang Pemerintah sendiri yang hendak membuka kran ekspor tersebut. Segala kerugian jangka pendek seharusnya sudah diprediksi pemerintah dan sekarang saatnya konsisten untuk mengimplementasikan kebijakan hilirisasi,” tandas Marwan.
Marwan meminta agar sikap tegas pemerintah ini juga diberlakukan bagi komoditas mineral lainnya seperti tembaga dan nikel. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut sudah lama beroperasi di Indonesia dan menikmati keuntungan dari sumber daya alam Indonesia. Namun, berbagai alasan terus dikemukakan perusahaan-perusahaan asing tersebut demi menunda bahkan tidak kunjung memberikan rencana kerja pembangunan smelter.
Di tempat terpisah Maryati Abdullah, dari Publish What You Pay menegaskan, jika sekarang Indonesia mengalami penurunan pendapatan dari sektor mineral karena kebijakan ini, jangan sampai mempengaruhi konsistensi dalam penerapan kebijakan hilirisasi.
Dampak yang terjadi sekarang itu hanya shorterm yang bisa terjadi pada kebijakan apa pun. Namun dalam 5 sampai 10 tahun ketika smelter sudah beroperasi, Indonesia akan merasakan manfaatnya. “Kita baru akan merasakan dampak dari kebijakan hilirisasi kalau pemerintah konsisten menerapkan kebijakan ini,” kata Maryati.
Maryati menambahkan, hal lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah perencanaan yang lebih baik. Seharusnya sejak awal sudah dipikirkan bagaimana listrik, bagaimana lahan, koordinasi antar kementrian dan lainnya hingga menghasilkan produk akhir dan penyerapan pasarnya.
Sementara itu menurut Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika, pihaknya akan menyelidiki sikap gamang pemerintah yang berupaya membuka keran ekspor bahan mentah tambang. Sikap pemerintah tersebut bertolak belakang dengan amanat UU Minerba dan menciderai aspirasi masyarakat yang mengingingkan sektor tambang menjadi lokomotif kesejahteraan masyarakat.
“Kami akan ingatkan pemerintah agar tidak boleh menimbulkan persepsi ketidakpastian hukum yang berdampak sangat merugikan terhadap implementasi kebijakan hilirisasi, penataan investasi dalam negeri, dan manfaat jangka panjang yang bakal dinikmati masyarakat,” katanya.