Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Di Mata Internasional, Perusahaan Asal Indonesia Gemar Berutang

Di mata internasional, Indonesia terkenal sebagai negara yang perusahaan swastanya dan Badan Usaha Milik Negaranya (BUMN) gemar mengajukan utang.

Editor: Budi Prasetyo
zoom-in Di Mata Internasional, Perusahaan Asal Indonesia Gemar Berutang
Tribunnews.com/Tribunnews.com/Andri Malau
Gubernur BI, Agus Martowardojo, bersama Menko Perekonomian, Sofjan Djalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman Dharmansyah Hadad menjelaskan kondisi Terkini Nilai tukar rupiah Atas Dolar AS dan kondisi Perekonomian Indonesia, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/3/2015). (Tribunnews.com/Andri Malau) 

TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengungkapkan, di mata internasional, Indonesia terkenal sebagai negara yang perusahaan swastanya dan Badan Usaha Milik Negaranya (BUMN) gemar mengajukan utang.

Hal tersebut diungkapkan Agus lantaran utang swasta dan BUMN sudah sangat besar. "Indonesia memiliki ciri khas bahwa dimata dunia, Indonesia itu termasuk negara yang perusahaan-perusahaanya, termasuk BUMN-nya memiliki utang dalam valuta asing yang besar," ujar Agus, Kamis (7/5/2015).

Saat ini kata Agus, utang swasta dan BUMN sudah mencapai angka 162 miliar dollar AS. Padahal pada tahun 2009 lalu, utang swasta dan BUMN hanya 20 miliar dollar AS. Ia juga nampak khawatir dengan besaran utang tersebut. Pasalnya sebagain besar utang swasta dan BUMN itu adalah utang jangka pendek.

Selain itu, 74 persen utang itu juga tak dilakukan lindung nilai atau hedging. Dampak buruknya, jika nilai tukar rupiah terus merosot dan dollar semakin perkasa, maka angka utang bisa terkena dampak fluktuasi mata uang. Kondisi tersebut membuat Agus teringat dengan situasi 1998 silam.

Saat itu kata dia, utang swasta dan BUMN besar tetapi tak melakukan lindung lindung nilai. Akibatnya, saat rupiah rrontok perusahaan terkena imbas besar. "Pengalaman kita pada tahun 1998 lalu, perusahaan kita yang pendapatannya rupiah, berutang dalam valuta asing itu tidak lakukan lindung nilai tapi juga pengembaliannya pendek yaitu 1 sampai 3 Tahun. Sedangkan pinjaman pemerintah itu 20 tahun. Jadi itu sangat berisiko," kata Agus . (Yoga Sukmana)

Berita Rekomendasi
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas