Pertamina Paling Cocok Kelola Energi Panas Bumi
Usulan pembentukan BUMN Khusus untuk mengelola energi panas bumi (geothermal) dianggap tidak perlu.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan pembentukan BUMN Khusus untuk mengelola energi panas bumi (geothermal) dianggap tidak perlu.
Selain berpotensi menambah rantai birokrasi, juga berpeluang menciptakan rent seekers yang mengeruk keuntungan pribadi.
“Tidak usahlah dibentuk BUMN Khusus. Serahkan saja kepada Pertamina,” kata Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Tri Mumpuni, Senin (24/5/2015).
Dalam pandangan Tri, Pertamina memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup untuk mengelola 29 ribu megawatt (MW) panas bumi yang ada di Indonesia. Terlebih, karena Pertamina juga didukung sumber daya manusia (SDM ) yang andal.
“Pertamina sangat bisa. Masa sih hanya 29 ribu MW harus dengan BUMN Khusus? Wong PLN saja bisa menangani lebih dari 50 ribu MW installed capacity,” kata Tri, yang kerap dijuluki “wanita listrik”, tersebut.
Kekhawatiran Tri terhadap usulan pembentukan BUMN Khusus yang menangani energi panas bumi, tentu bukan tanpa alasan. Dan, kekhawatiran tersebut sama, seperti saat Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, kali pertama dibentuk. Ketika itu, lanjutnya, semua memiliki harapan yang besar bahwa Ditjen tersebut akan menjadi leader, baik dari segi policy maupun regulasi. Tetapi nyatanya, pembentukannya justru menambah rantai birokrasi. Sedangkan dari sisi kinerja, tak ada yang istimewa.
“Makanya, kalau memang tidak efektif, efisien, dan hanya memperbanyak birokasi, lebih baik BUMN Khusus tidak usah dibentuk,” katanya.
Menurut Tri, yang menjadi persoalan memang bukan wadahnya, yakni apakah BUMN Khusus atau bukan. Yang juga menjadi akar kendala, lanjutnya, adalah regulasi dan perizinan seperti yang selama ini terjadi. Dan hal itu, disebabkan kurangnya sinergi antara kementerian terkait. Sebut saja antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kurangnya sinergi, lanjut Tri, karena selama ini memang kurangnya pemahaman, bahwa pengelolaan geothermal dianggap bisa merusak lingkungan dan konservasi. Padahal, lanjutnya, panas bumi tidak seperti batu bara yang bisa merusak lingkungan kalau tidak dikelola dengan baik.
“Hendaknya ke depan bisa lebih sinergis, sehingga akan mempermudah perizinan. Kebodohan yang lalu tidak boleh berulang. Sudah saatnya terdapat sinergi, sehingga geothermal yang berada di hutan konservasi, misalnya, bisa dikembangkan dengan optimal,” kata Tri.
Pentingnya regulasi juga diamini Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo. Hal ini terjadi, karena peran pemerintah dalam mengatur bisnis panas bumi, memang sangat besar. “Lihat saja, harga ditentukan Pemerintah, semua perizinan diberikan oleh Pemerintah. Karena ini sifatnya izin dan bukan PSC,” kata Abadi.
Itu sebabnya, regulasi yang dibuat Pemerintah harus bisa diaplikasikan dan diterima pelaku usaha. Jika terdapat aturan yang menghambat, tentu akan mempengaruhi minat investasi di sektor ini. “Sebut saja proyek sudah jalan. Tetapi jika di tengah jalan terdapat aturan dari Kementrian lain masuk, inilah yang menghambat,” lanjutnya.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan sampai saat ini kapasitas pembangkit panas bumi hanya 1.432 MW, padahal banyak perusahaan sudah mendapat izin usaha tapi tidak jalan. Dalam konteksi ini pula, Abadi menekankan pentingnya sinkronisasi dan koordinasi antar kementerian. Terlebih, karena hingga saat ini koordinasi antar kementerian sendiri, sebenarnya masih teramat lemah.
Kelemahan tersebut, kata Abadi, karena masing-masing kementerian memiliki Quality performance index (QPI) yang bisa jadi saling bertolak belakang. Sebut saja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang QPI-nya, antara lain diukur dari keberhasilan mempertahankan luas hutan.
“Padahal, energi selalu bertumbuh dan kebanyakan berada di hutan. Di sanalah harus dipilih, apakah mengutamakan kehutanan atau energi,” katanya.
API sendiri, lanjut Abadi, lebih memilih langkah untuk berkolaborasi. Artinya, mengutamakan energi tidak berarti harus dengan mengorbankan hutan. Dengan demikian, perusahaan yang membangun pembangkit di hutan wajib menjaga hutannya.
“Mekanisme inilah yang kita pilih dan berharap bisa dipahami oleh Kementerian lain sehingga kita bisa memajukan geothermal. Tidak hanya dengan KLHK tetapi juga dengan kementrian lain, seperti Kementerian Keuangan. Seperti diketahui bisnis panas bumi bukan bisnis murah. Oleh karenanya butuh subsidi. Kalau Kementerian Keuangan tidak menyediakan subsidi, maka panas bumi juga bakal tidak jalan,” kata Abadi.