Ekonomi Lesu, Pemerintah Diminta Tak Kerek Cukai Rokok
Industri hasil tembakau terus digencet dengan kenaikan cukai.
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri hasil tembakau terus digencet dengan kenaikan cukai. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati pun perlu mengingatkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Kementerian Keuangan, untuk tidak gegabah dalam menaikkan cukai.
Pasalnya, setiap kenaikan cukai tanpa disertai dengan law enforcement dari pemerintah maka sudah pasti akan berdampak langsung. Sektor yang paling sensitif akibat kenaikan cukai adalah sektor ketenagakerjaan. Sudah banyak bukti, kenaikan cukai justru menciptakan pengangguran.
"Selain itu, kenaikan cukai juga menyuburkan rokok ilegal, sehingga industri dan pemerintah dirugikan," ujar Enny, saat dihubungi wartawan, Minggu (24/8). Banyak rokok legal yang justru mati akibat kenaikan cukai.
Masalahnya, kata dia, kenaikan cukai itu ternyata tak berimbas pada kenaikan pendapatan negara. Yang ada justru pendapatan negara dari cukai rokok makin menurun.
Ia menilai, jika berpikir parsial, kapan pun cukai bisa saja dinaikan dengan dalih meningkatkan pendapatan negara. Seperti diketahui, saat ini cukai rokok menyumbang 95 persen dari nilai cukai. Itu artinya, pemerintah masih mengandalkan industri rokok untuk mendapatkan cukai, namun sektor-sektor lain yang berpotensi cukai besar diabaikan.
Namun seringkali, selama ini, tanpa dilakukan pendekatan komprehensif. Maka tak heran, ada pengusaha atau industri memanfaatkan cukai lebih murah saat tarif cukai antar golongan rokok berbeda jauh. Misal cukai untuk sigaret kretek tangan (SKT) ada yang masih sebesar Rp 200 per batang, sementara sigaret kretek mesin (SKM) sudah di atas Rp 300 per batang.
Enny mengingatkan, khusus untuk SKT dari sisi tenaga kerja sangat besar, tentu saja setiap kenaikan beban produksi maka itu juga secara langsung mengancam sektor tenaga kerja. Akan lebih baik, pemerintah lebih cerdas untuk tidak hanya mengejar cukai dari rokok saja.
"Objek cukai tidak hanya rokok, masak hampir 95 persen cukai dari rokok, ini sangat ironis," tandasnya.
Ekonom ini mengingatkan, jangan sampai setiap rencana kenaikan pendapatan negara, justru berdampak kontraksi pada ekonomi, terutama sektor industri padat tenaga kerja seperti rokok. Ia khawatir jika beban yang diberikan kepada industri terlalu besar, bisa-bisa justru malah menciptakan pengangguran.
"Diperlukan strategi pintar, bagaimana target tercapai, tapi tidak menimbulkan kontraksi. Harusnya, mereka yang menghindar pajak dikejar. Jangan sampai wajib pajak aktif justru terus ditekan sehingga kontradiktif. Pemerintah harus berani mengejar perusahaan asing yang tidak bayar pajak, yang melakukan transfer pricing harus ditegakan," tegasnya.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyebut, pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim Sulami Bahar menambahkan, pada 2014 ketika tarif cukai naik, sebanyak 19 ribu buruh rokok kretek mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Selama tahun 2014 ada sekitar 400 pabrik di mana sebagian besar sudah tutup gara-gara cukai naik.
"Kami yang sudah memberi kontribusi luar biasa terhadap negara, tetapi industri tembakau nasional selalu dirongrong," tegasnya.
Ketimbang hanya membebani industri tembakau dengan pajak dan cukai tinggi, akan lebih baik pemerintah membuat grand design bagaimana melindungi industri hasil tembakau terutama pabrik-pabrik kecil agar tidak gulung tikar di tengah kenaikan cukai tinggi.
Industri tembakau harus diberi keringanan seperti ada pajak khusus, kemudian fasilitas kredit, juga diberikan penghargaan bagi mereka yang mencapai target.