Cukai Rokok Naik, Ribuan Orang Terancam Kehilangan Pekerjaan
Beban cukai yang ditanggung oleh industri pastinya akan berimbas kepada penurunan produksi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah kembali menaikkan target cukai rokok di dalam RABPN 2016 dari sebelumnya Rp 139,1 triliun menjadi Rp 148,9 triliun di tengah kondisi ekonomi yang sedang mengalami perlambatan.
Kenaikan ini menjerat industri rokok karena mengacu pada base look inflasi dengan hitungan 14 bulan, bukan 12 bulan. Dengan perhitungan ini kenaikan cukai rokok mencapai 23 persen, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar di antara 7 persen-9 persen.
Memang setiap tahun penerimaan cukai rokok untuk pemerintah terus naik. Namun secara bersamaan dari tahun 2010 sampai dengan 2014, sudah ada 999 pabrikan rokok yang gulung tikar, di mana hal ini juga berdampak kepada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perlu juga dicermati bahwa lebih dari 90 persen pekerja di pabrikan rokok adalah pekerja perempuan dengan pendidikan rata-rata Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang penghidupan keluarganya sangat tergantung pada kelangsungan pekerjaan mereka.
Beban cukai yang ditanggung oleh industri pastinya akan berimbas kepada penurunan produksi. “Oleh karena itu, kenaikan cukai rokok bukan hanya mengancam pekerja di industri. Dapat membunuh mata pencaharian petani tembakau dan cengkeh akibat permintaan yang menurun,” ujar Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati.
Dampak dari keputusan untuk menaikkan cukai rokok harus diantisipasi oleh pemerintah. Kesulitan yang dialami oleh industri pasti juga dirasakan oleh para pekerja. Sebab pada tahun 2014 saja ketika pemerintah tidak menaikkan cukai rokok karena bertepatan dengan pemberlakuan pengenaan pajak rokok daerah 10 persen, sudah tercatat ada 10.000 tenaga kerja industri rokok yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2014.
Pada tahun ini pun industri rokok diperkirakan 10.000 pekerja juga akan diberhentikan. Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz, perubahan tren konsumsi sigaret kretek tangan (SKT) menjadi sigaret kretek mesin (SKM) merupakan salah satu faktor.
“Adanya penurunan untuk konsumsi sigaret kretek tangan dan diikuti kenaikan yang hampir sama besarnya di sigaret kretek mesin. Ini berpengaruh dengan tenaga kerja, karena SKT itu banyak menyerap tenaga kerja,” ujar Hasan.
Ratusan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan. Pemerintah harus memerhatikan aspek ekonomi-sosial dalam mengambil kebijakan kenaikan cukai rokok kali ini. Seyogyanya pemerintah berpihak pada perlindungan tenaga kerja dan industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk menekan angka pengangguran.