Jokowi: Kondisi Ekonomi saat Ini Tak Sama dengan 1998 dan 2008
Pelemahan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia belakangan ini, ditambah anjloknya bursa saham, membuat banyak pihak khawatir
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia belakangan ini, ditambah anjloknya bursa saham, membuat banyak pihak khawatir, ekonomi Indonesia akan kembali krisis seperti tahun 1998 atau 2008.
Apalagi di dalam negeri pertumbuhan ekonomi semester I-2015 di bawah target. Ekspor melemah, dan penerimaan pajak pun tak mencapai target. Emiten-emiten di bursa melaporkan kinerja yang melemah. Kegiatan bisnis pun lesu. Hal ini terlihat dari dropnya penjualan perusahaan ritel, turunnya pasar otomotif dan properti.
Pekan lalu, dua orang taipan senior, Mochtar Ryadi dan Ciputra pun angkat bicara soal kondisi ekonomi saat ini yang membuat mereka kuatir. Ciputra bahkan mengatakan, rasa ekonomi 2015 seperti tahun 2008.
Namun, Presiden Joko Widodo menampik bahwa ekonomi kita kini menuju krisis seperti 1998 atau 2008.
Dalam diskusi dengan wartawan di Istana hari ini, Senin (31/8), Presiden Jokowi memaparkan data indikator ekonomi Indonesia saat ini dibandingkan dengan indikator ekonomi saat krisis moneter 1998 dan krisis finansial 2008.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2015, meski tak sesuai target, namun masih mencapai 4,67 persen year on year. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 di mana ekonomi hanya tumbuh 4,12 persen apa lagi dibandingkan dengan krisis moneter 1998 di mana ekonomi negatif (-13,10 persen).
Kondisi inflasi saat ini pun menurut Presiden masih terkendali. Saat krisis moneter (krismon) 1998 inflasi membubung 82,5 persen dan saat krisis finansial 2008 inflasi mencapai 12,14 persen. Sementara pada triwulan II-2015 lalu, inflasi jauh lebih rendah yakni sebesar 7,26 persen. “Di akhir tahun nanti, inflasi bisa turun di bawah 5 persen,” ujar Jokowi.
Mengenai kurs rupiah yang kini menembus kisaran Rp 14.000 per dollar AS, memang lebih rendah dibandingkan dengan kurs rupiah saat krisis 2008 di mana kurs rupiah mencapai Rp 12.650 per dollar AS. Tapi, pelemahan rupiah saat ini tak seburuk saat krismon 1998 di mana rupiah terpuruk ke Rp 16.650 per dollar AS.
Namun harus diingat, tandas Presiden Jokowi, di tahun 1998 kurs rupiah melemah menjadi Rp 16.650 dari sebelumnya di bawah Rp 2.500 per dollar AS. “Saya masih ingat, saat itu kurs rupiah hanya sekitar Rp 1.800-an per dollar,” ujar Jokowi.
Pelemahan rupiah yang terjadi sekarang, tak sedalam saat krisis sebelumnya. Sebab, seperti dikatakan Jokowi, saat dia mulai memegang tampuk pemerintahan Oktober 2014, kurs rupiah sudah berada di kisaran Rp 12.000 per dollar AS.
Seperti tampak pada data yang dipaparkan Presiden, depresiasi rupiah (posisi terendah) di tahun 1998 mencapai 197 persen, dan di tahun 2008 mencapai 34,86 persen. Sementara depresiasi rupiah yang terjadi belakangan ini, hanya 14,03 persen.
Cadangan devisa Indonesia sekarang ini juga lebih tinggi. Saat krismon 1998, cadangan devisa Indonesia hanya 17,4 miliar dollar AS, dan di tahun 2008 cadangan devisa kita sebesar 80,2 miliar dollar AS. Pada akhir Juli 2015, cadangan devisa kita sudah mencapai 107,6 miliar dollar AS.
Namun, total utang luar negeri, yang mencakup utang pemerintah dan swasta, kini memang lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Akhir kuartal II-2015 lalu, total utang luar negeri mencapai 304,3 miliar dollar AS. Posisi utrang luar negeri ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 2008 yang sbeesar 155,08 miliar dollar AS dan tahun 1998 sebesar 150,8 miliar dollar AS.
Namun, Presiden Jokowi mengatakan, meski meningkat, namun rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa sekarang ini jauh lebih baik. Di tahun 1998, rasionya 8,6 kali. Di tahun 2008 rasionya 3,1 kali, dan kini rasionya hanya 2,8 kali.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB pun membaik. Jika di tahun 1998 rasionya 100 persen dan di 2008 rasionya 27,4 persen maka saat ini rasionya lebih kecil yakni 24,7 persen.
Kondisi perbankan saat ini juga lebih kuat dibandingkan krisis 1998 dan 2008.
Presiden Jokowi lantas membandingkan rasio kredit bermasalah (non performing loan / NPL gross) perbankan yang triwulan II-2015 lalu hanya 2,6 persen. Ini jauh lebih rnedah dibandingkan NPL tahun 2008 yang sebesar 3,8 persen apa lagi dibandingkan 1998 di mana NPL gross perbankan melejit hingga 60 persen.
Melihat berbagai indikator ekonomi makro ini, Presiden Jokowi optimistis, ekonomi Indonesia tidak akan jatuh ke tubir krisis seperti krisis 2008 dan krisis moneter 1998.(Mesti Sinaga)