Wapres JK: Ekonomi Sedang Krisis, RI Butuh Utang
"Pinjaman itu, kalau diterima akan direfinancing lagi," ujar JK.
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mengatakan saat ini kondisi ekonomi Indonesia tengah krisis.
Namun JK tidak menjelaskan lebih lanjut soal itu. Termasuk indikator krisis yang digunakannya.
Di tengah kondisi krisis, kata JK, Indonesia membutuhkan dana yang murah.
Catatan Kontan, seperti krisis 1998 dan 2008, dana utang ini akan digunakan untuk membiayai anggaran negara dan untuk mengantisipasi jika pemerintah harus mengeluarkan dana untuk meredam krisis di sektor keuangan maupun melalui sektor riil.
JK menyampaikan situasi saat ini usai bertemu dengan Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chacvez, Kamis (17/9), di Kantornya, Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut Bank Dunia menawarkan pinjaman senilai US$ 12 miliar untuk jangka waktu empat tahun.
Pinjaman itu disertai dengan bunga yang relatif rendah, yairu 0,93 persen per tahun.
"Pinjaman itu, kalau diterima akan direfinancing lagi," ujar JK.
Ia mengingatkan, dalam beberapa tahun terakhir utang pemerintah turun karena refinancing (mengganti pinjaman dengan pinjaman lain).
Apalagi, pinjaman-pinjaman itu akan digunakan untuk berbagai proyek yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi.
Misalnya, seperti proyek infrastruktur, energi, jalan, dan hal lainnya.
Pernyataan JK bahwa kondisi ekonomi RI dalam krisis ini sebenarnya telah menjadi rumor hangat pada pekan ini.
Spekulasi ini muncul saat JK bertemu Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad, dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Senin pagi (14/9) di rumah dinas Wapres Jusuf Kalla.
Saat pertemuan itu, JK dan otoritas pasar keuangan dan moneter itu membahas situasi ekonomi yang sudah tahap menghawatirkan, terutama karena rupiah kian longsor terhadap dollar AS.
Staf Ahli Wapres, Sofjan Wanandi mengakui pertemuan coffee morning tersebut dan para peserta yang hadir dalam pertemuan itu.
Namun Sofjan mengatakan, pertemuan itu untuk membicarakan situasi terkini sekaligus mengantisipasi hasil rapat bank sentral Amerika Serikat yang terjadi pekan ini (Kamis pekan ini waktu Amerika Serikat).
Sofjan mengatakan, nilai tukar rupiah masih dalam kondisi yang aman karena pelemahan nilai tukar rupiah terjadi karena spekulasi.
Sofjan menegaskan, pemerintah masih yakin dua pemegang obligasi pemerintah, yakni pemerintah Malaysia dan Hongkong, tidak akan mencairkan obligasinya sehingga tidak kian memperlemah rupiah.
Sebab yield yang mereka terima atas kepemilikan obligasi negara RI masih lebih tinggi ketimbang obligasi negara lain.
"Rupiah tidak akan sampai 15.200 per dollar," kata Sofjan kepada KONTAN, Kamis (17/9). (*)