Gappri: Regulasi Pemerintah Tekan Industri Hasil Tembakau
Gappri menilai industri hasil tembakau (IHT) sudah seharusnya menyandang predikat sebagai pejuang ekonomi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesial (Gappri) menilai industri hasil tembakau (IHT) sudah seharusnya menyandang predikat sebagai pejuang ekonomi bangsa pada akhir tahun ini. Pasalnya, kontribusi mereka untuk penerimaan APBN dari sektor cukai hasil tembakau sangat besar.
Namun sayangnya industri ini terus mendapat tekanan. Ironisnya, tekanan itu bukan datang dari persaingan bisnis namun dari regulasi yang ditelorkan pemerintah.
Ketua GAPPRI, Ismanu Soemiran mengayakan, IHT menyetor 95 persen penerimaan negara dari sektor cukai yang dihasilkan dari industri nasional kretek. Namun, sumbangsih yang sedemikian besar itu, seperti angin lalu bagi pemerintah.
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.20/2015 yang mewajibkan IHT membayar cukai dimuka sebelum waktunya. Misalnya, pembayaran yang seharusnya di Januari/Februari 2016 sudah harus dibayar pada Desember 2015. Jumlahnya pun sangat besar dan dipastikan akan mengganggu pengelolaan keuangan perusahaan (cash flow).
Gappri mencatat, kurang lebih IHT setor senilai kurang lebih Rp 20 triliun. Jumlah itu terdiri dari pembayaran cukai, pajak pertambahan nilai, dan pajak daerah dan retribusi pendapatan daerah.
“Ini negara disubsidi IHT,” ujar Ismanudalam keterangannya di Jakarta, Rabu (25/11). "Apa ada dalam sejarah bisnis di Indonesia seperti ini?" imbuhnya. Karena itu, IHT seharusnya layak disebut "Pejuang Ekonomi Bangsa". “Apa ada dalam sejarah ekonomi kita, industri yang mampu membayar seperti itu,” tegasnya.
Ismanu pun tak habis pikir dengan sikap pemerintah yang memaksa IHT untuk setor cukai lebih awal. Dia mengungkapkan, betapa beratnya IHT saat ini menyediakan uang cukai yang disetor di depan itu.
"Dengan instrumen kebijakan dan siasat apa yang akan digunakan oleh IHT untuk memenuhi target tersebut? Bisa ndak pemerintah mencarikan cara bagaimana IHT bisa setor cukai yang nilainya sebesar 2,5 kali nilai transaksi satu bulan,” kritik Ismanu.
Tanpa tekanan cukai seberat itupun seberanya kinerja IHT terus melemah sehingga harus memutus hubungan kerja dengan puluhan ribu karyawannya. Tahun lalu, IHT sudah mem-PHK setidaknya 10.000 pekerja. Tahun ini jumlah itu bertambah menjadi 15.000 pekerja dan diperkirakan akan melonjak sangat besar di tahun depan.
Jumlah pabrik rokok pun menyusut drastis, sejak 2009, ada 4.900 pabrik rokok. Dengan kenaikan tarif cukai tiap tahun, akhir 2014 hanya tinggal 600 pabrik. “Itu pun yang aktif mengajukan pita cukai hanya 100, sisanya 500 hampir kolaps,” pungkas Ismanu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.