Kontrak Tak Diperpanjang, Bos Freeport Khawatir Konflik di Papua
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dicecar berbagai pertanyaan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dicecar berbagai pertanyaan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Salah satu pertanyaan yang mengemuka terkait perpanjangan kontrak.
Jika kontrak PT Freeport Indonesia tidak bisa diperpanjang saat habis masanya di 2012, Maroef menilai akan terjadi banyak konflik di wilayah Papua.
Pasalnya ada tujuh suku besar yang mendapatkan saham tambang dari Tembagapura sampai Portside.
"Mungkin bisa terjadi klaim antar suku, ini milik saya, ini milik saya, bisa terjadi potensi konflik," ujar Maroef di sidang MKD, komplek DPR/MPR, Jakarta, Kamis (6/12/2015).
Maroef melihat perpanjangan kontrak Freeport Indonesia lebih penting dari sisi sosial daripada bisnis pertambangannya.
Pasalnya ada banyak keluarga dan masyarakat Papua yang hidupnya bergantung dari tambang yang dikelola Freeport.
"Freeport ini bukan hanya masalah bisnisnya saja, tapi masalah sosial karyawan beserta keluarga dan masyarakat di sekitarnya," ungkap Maroef.
Maroef menambahkan kontribusi Freeport untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua tahun ini mencapai 91 persen dan PDB nya untuk Indonesia 37 persen. Data yang dipaparkan Maroef diambil dari LPEM-UI.
"Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika kontrak tak diperpanjang," kata Maroef.
Sebelumnya diketahui PT Freeport Indonesia bisa memperpanjang kontraknya di 2019 ata dua tahun sebelum kontraknya habis di 2021.