Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemerintah Harus Cabut Peraturan Pembekuan Izin Perusahaan HTI

pelaku usaha di sektor industri pulp dan kertas meminta pemerintah mencabut peraturan pembekuan izin perusahaan Hutan Tanaman Industri

Editor: Sanusi
zoom-in Pemerintah Harus Cabut Peraturan Pembekuan Izin Perusahaan HTI
TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO
KEBAKARAN LAHAN - Helikopter dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan mencoba memadamkan kebakaran lahan dengan cara water boombing di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (18/8/2015).Ratusan hektare lahan gambut yang terbakar pada kebakaran tersebut dan asap dari kebakaran tersebut mengganggu kendaraan yang melintas di kawasan Jalan lintas timur Palembang-Inderalaya.TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku usaha di sektor industri pulp dan kertas meminta pemerintah mencabut peraturan pembekuan izin perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) terkait dengan dugaan pembakaran hutan. Aturan tersebut membuat pasokan bahan baku kertas terancam berkurang sehingga kinerja ekspor dan devisa negara akan turun.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyayangkan pembekuan izin dengan larangan penghentian operasi tidak hanya di areal terbakar saja, tetapi di seluruh areal operasi.

Purwadi menuturkan, akibatnya terdapat sekitar 901.184 hektare areal HTI yang berhenti beroperasi. Dengan pembekuan izin tersebut, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja langsung sekitar 40.202 orang yang menghidupi keluarga sekitar 160.808.

"Ditambah pemutusan kontrak kerja sama kontraktor dan suplier,” katanya pada acara diskusi proyeksi pertumbuhan Industri Pulp dan Kertas 2016 yang diselenggarakan Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Selasa (22/12/2015).

Saat ini, jumlah tenaga kerja langsung di sektor industri pulp dan kertas mencapai 40.202 orang. Pembekuan izin akan berdampak pada menurunnya pasokan bahan baku ke industri yang berujung pada melemahnya kinerja ekspor.

“Pasokan kayu ke industri pulp triwulan III turun 30 persen, kondisi ini membuat devisa, pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menurun sehingga perekonomian juga melemah. Diperkirakan, devisa ekspor industri pulp tahun depan akan dibawah tahun ini yang mencapai 5,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp76,1 triliun,” papar Purwadi.

Sampai saat ini, lanjut Purwadi, tidak ada kepastian kapan izin perusahaan yang dibekukan dapat beroperasi kembali. Padahal, kebakaran di areal pemegang izin terjadi bukan karena perusahaan membakar, tetapi karena faktor eksternal.

BERITA REKOMENDASI

“Kebakaran hutan itu tidak hanya terjadi di HTI saja tapi juga terjadi di lahan masyarakat, hutan open access, taman nasional dan areal moraturium,” ujarnya.

Purwadi mengusulkan, areal yang terbakar pada areal konsensi tetap dapat dilakukan rehabilitasi oleh pemegang izin dengan pengawasan dari pemerintah secara transparan.

Sedangkan Direktur Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida menolak tegas langkah pemerintah memberikan sanksi pencabutan dan pembekuan izin HTI. Langkah pemerintah itu akan mematikan industri pulp dan kertas tahun depan.

“Padahal, tahun depan sudah masuk pasar bebas Asean. Kalau pasokan bahan baku berkurang industri pulp dan kertas tahun depan akan terancam,” jelasnya.

Menurutnya, dengan berkurangnya pasokan bahan baku sama saja dengan memaksa tutup pabrik pulp dan kertas. Tentu bukan hanya perusahaannya saja yang rugi, tapi pemerintah juga dari berkurangnya setoran pendapatan.


“Tidak mungkin perusahaan HTI membakar hutannya dengan sengaja. Investasi di sektor HTI mencapai Rp 60 triliun dengan nilai ekspor 5,6 miliar dolar AS dan tuduhan pembakaran HTI akan merusak bisnis industri pulp dan kertas,” ujarnya.

Industri Pulp dan Kertas Terancam

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Pranata mengatakan, saat ini jumlah industri hasil hutan mencapai 80-an.

“Produksi pulp mencapai 6,4 juta ton per tahun dan produksi kertas 10,4 juta ton per tahun. Sedangkan ekspor pulp mencapai 3,5 juta ton dengan nilai 1,72 miliar dolar AS atau sekitar Rp 23,5 triliun dan ekspor kertas sebesar 4,35 juta dengan nilai 3,74 miliar dolar AS atau sekitar Rp51,2 triliun,” katanya.

Pranata menilai, dengan peraturan pembekuan izin dan larangan penghentian operasi tidak hanya di areal terbakar saja, tetapi diseluruh areal operasi, target pertumbuhan industri pulp dan kertas sebesar 3 persen hingga 4 persen pada tahun depan tidak akan tercapai.

“Kami akan mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar peraturan pembekuan izin dan larangan penghentian operasi di seluruh areal operasi HTI dicabut. Industri pulp dan kertas memiliki daya saing yang tinggi dan menyerap ribuan tenaga kerja,” ujar Pranata.

Direktur Eksekutif Institute Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menambahkan, pemerintah harus membuat regulasi yang mendukung sektor industri pulp dan kertas nasional.

“Dengan melimpahnya bahan baku dan besarnya investasi yang telah ditanamkan investor, sudah seharusnya pemerintah melindungi industri dalam negeri bukan menghancurkan dengan aturan yang merugikan,” tuturnya.

Pasca bencana kebakaran hutan dan lahan, pemerintah memang mengenakan sanksi sejumlah perusahaan dengan membekukan izin usahanya meski kebakaran terjadi karena faktor eksternal berupa aktivitas di areal open akses dan areal yang dirambah. Akibat sanksi tersebut saat ini sekitar 1 juta hektare lahan tidak dapat dioperasikan.

Sampai saat ini tidak ada kepastian kapan pembekuan izin dicabut meski perusahaan telah mengupayakan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Selain sanksi pembekuan, pemerintah juga bereaksi dengan tidak mengizinkan penyiapan lahan baru untuk penanaman pada lahan gambut, sementara lahan eks kebakaran diambil alih pemerintah. Ketentuan ini rencananya akan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah.

Kebijakan pembekuan dan pencabutan izin serta pengembalian areal kepada pemerintah seharusnya tidak bisa berlaku surut sebelum ada ketentuan yang mengatur.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas