PP Pengupahan Bikin Nasib Buruh Kian Terpuruk
Tren ini memicu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap para pekerjanya.
Penulis: Ade Mayasanto
Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA - Menurunnya daya beli, kompetisi yang semakin ketat serta kondisi ekonomi yang belum membaik diduga menjadi penyebab banyak perusahaan yang bergerak di sektor elektronik, otomotif, dan garmen memutuskan menutup pabriknya di sejumlah daerah di Indonesia.
Tren ini memicu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap para pekerjanya.
Seorang buruh di perusahaan elektronik, PT Kyosha Indonesia, Ismail Rifai, mengatakan penjualan perusahaannya semakin menurun. Sementara, upah yang diterimanya sebagai buruh tidak lagi sebanyak dulu.
Ismail juga menuding diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan setelah terbitnya paket kebijakan ekonomi jilid VI sebagai biang kehidupan pekerja makin memburuk.
Ini karena kenaikan upah kini dihitung memakai inflasi nasional, tidak lagi laju inflasi daerah.
"Daya beli masyarakat menurun, padahal dua tahun lalu gaji bisa naik 30 persen," ujar Ismail kepada Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (4/6/2016).
Saat kenaikan upah kecil, inflasi naik secara drastis membuat harga barang mahal. Pemicu utama inflasi melonjak tinggi karena harga BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar naik tajam.
"Dihantam harga minyak BBM, kenaikan BBM itu menghantam daya beli," kata Ismail.
Ismail menambahkan, sejak harga BBM naik, semua harga ikut naik. Namun saat harga Premium dan Solar sudah diturunkan, ternyata tidak diikuti oleh penurunan harga barang.
Ismail memaparkan, saat inflasi melambung tinggi, banyak barang elektronik menjadi tidak laku.
Karena kebutuhan masyarakat menurut Ismail lebih membelanjakan uangnya kepada kebutuhan pokok dan rumah tangga.
"Daripada beli mesin cuci barang elektronik mending makan, industri elektronik dan otomotif kekurangan pangsa pasar," papar Wakil Ketua Bidang Organisasi Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Bekasi itu.
Ismail membandingkan persaingan produksi dan upah besar bagi buruh tidak menjadi penyebab utama perusahaan melakukan PHK karyawannya.
Namun saat pekerja harus mengikuti upah layak sebesar 11,5 persen sebagaimana diatur PP No.78 tahun 2015, daya beli menurun sampai membuat bangkrut banyak perusahaan.