Bandeng Presto Buatan Bu Darmono Tembus Pasar Nasional, Ini Rahasianya
Berawal dari usaha kecil-kecilan sekelompok ibu-ibu nelayan, saat ini usaha olahan bandeng presto milik Hartini Darmono tumbuh pesat
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Berawal dari usaha kecil-kecilan sekelompok ibu-ibu nelayan di Kampung Purwosari, Kelurahan Tambakrejo, Gayamsari Semarang, saat ini usaha olahan bandeng presto milik Hartini Darmono tumbuh pesat.
Produk bandeng presto berbendera "Mina Makmur Bu Darmono" yang semula hanya beredar antar tetangga kini mulai merambah ke luar daerah.
Darmono mengatakan, usaha yang dirintisnya sejak 25 Desember 1980 itu berawal karena rasa prihatin.
Banyak ibu-ibu warga sekitar yang menggangur dan hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan suami selama melaut.
"Awalnya karena hidup di lingkungan tambak, sedih melihat lingkungan kumuh dan banyak ibu-ibu nganggur saat musim pasang duduk di rumah."
"Kalau tangkapan sepi apa yang dimiliki dijual, kalau tangkapan banyak beli perabotan. Pola hidup sesuai tangkapan," ujar wanita warga Jalan Purwosari IV/17 Tambakrejo, Gayamsari, Semarang itu, Jumat (10/6).
Dari situ, Darmono mengajak warga untuk berwira usaha membentuk klaster dan merintis bidang pengolahan ikan bandeng, ada 20 orang yang bersedia ikut. Pemerintah provinsi memberi bantuan modal Rp 400 ribu selama dua tahun.
Ilmu membuat bandeng presto sendiri ia dapat dari Dinas Perikanan. Awal produksi sehari bisa mencapai 3 kilo per hari, semakin hari semakin banyak diminati, dan hingga sekarang mencapai 500 kg bandeng per hari.
"Bahan baku, dulu tari tangkapan suami karena hanya 3 kg, sekarang 500 kg sehingga harus pakai suplair sejak 15 tahun lalu," ujarnya.
Selain bandeng, ia juga memproduksi pepes bandeng presto, otak-otak bandeng, tahu bakso ikan laut.
Untuk pemasaran sendiri awalnya door to door kemudian bersama dengan anggota sering mengikuti lomba-lomba dan juga pameran yang diadakan baik di tingkat lokal hingga nasional.
Harga bandeng presto yang pertama kali ia jual seharga Rp25 ribu/kg. Setiap penjualan Darmono mengambil untung sekitar 25 persen.
"Tapi saat awal dijual gak laku, sebab pasarnya ngak ada, banyak konsumen yang belum mengenal makanan seperti ini sehingga harus bisa meyakinkan dulu," imbuhnya.
Menurut Darmono tantangan terbesar untuk menjalani bisnis ini adalah menjaga semangat agar pantang menyerah.