Menperin: Ratifikasi FCTC Jangan Hanya Lihat dari Sisi Kesehatan Saja
Saleh Husin: FCTC harus menjadi perhatian. Tidak hanya melihat satu sisi saja. Melihat sisi kesehatan, tetapi juga melihat sisi industri
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengingatkan semua pihak yang menginginkan Indonesia meratifikasi dan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk berhati-hati. Pasalnya, industri tembakau dianggap sangat menguntungkan Indonesia.
"FCTC harus menjadi perhatian. Tidak hanya melihat satu sisi saja. Melihat sisi kesehatan, tetapi juga melihat sisi industri," ujar Saleh di rumah dinasnya, Selasa (14/6/2016) malam.
Saleh memaparkan, dalam menerapkan sebuah kebijakan, harus diperhatikan seluruh sektor. "Presiden menyampaikan dari sisi kesehatan, industri, keuangan, semua sektor harus diperhitungkan," ungkap Saleh.
Meskipun menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi dan aksesi FCTC, Presiden Joko Widodo kembali menyatakan Pemerintah Indonesia tidak akan terjebak dalam tren atau sekadar ikut-ikutan.
Ketika membuka Rapat Terbatas tentang Pengendalian Tembakau di Kantor Presiden, Selasa (14/6/2016), Presiden mengatakan masalah tembakau erat berkaitan dengan kelangsungan hidup petani tembakau, buruh tembakau yang hidup dan bergantung pada industri tembakau.
"Berdasarkan data WHO sampai Juli 2013, sebanyak 180 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC mewakili 90 persen populasi dunia. Tapi kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional kita, ini juga tidak kecil, menyangkut orang yang sangat banyak," katanya.
Sebelumnya, ratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau FCTC yang dirancang oleh World Health Organization (WHO) dinilai sejumlah pihak bukan sesuatu yang penting.
Pasalnya untuk mengatur pengendalian tembakau di Indonesia sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang lebih ketat.
"Jika diperhatikan beberapa ketentuan di dalam PP 109 sebenarnya lebih ketat dibandingkan dengan apa yang diatur dalam FCTC. Untuk itu, Pemerintah sebaiknya fokus dalam menerapkan dan menegakkan PP 109. Tidak serta merta peraturan internasional lebih efektif dalam mengatur pengendalian tembakau,” ujar Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia.
Menurutnya pemerintah juga tidak perlu khawatir bila memutuskan untuk tidak meratifikasi FCTC, sebab bila itu terjadi negara ini bukanlah satu-satunya negara yang menolak kerangka aturan tersebut, tapi kita hanya mengikuti langkah dari negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, dan Argentina.
Kehadiran FCTC juga dinilai dapat menyebabkan timbulnya kartel-kartel pertembakauan, karena sebenarnya kerangka acuan ini tidak ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok di suatu negara.
FCTC sebagaimana diungkap dalam mukadimahnya bertujuan untuk (mengendalikan) produksi tembakau, yang dimulai dari hulu atau pertanian tembakau sampai dengan produk jadi atau rokoknya.
Hikmahanto mengatakan, pengendalian produksi tembakau cenderung memunculkan kartel.
Ini mengingat kuota tembakau yang dapat dihasilkan di suatu negara akan diatur.
Bila di suatu negara jumlah perokok tidak sebanding dengan produksi tembakau yang dihasilkan ini akan berakibat pada negara tersebut mengimpor daun tembakau atau rokok yang telah jadi.
"Bagi Indonesia ini merepotkan bila jumlah perokok tidak mampu ditekan namun produksi daun tembakau berdasarkan FCTC telah dikurangi secara signifikan,” papar Hikmahanto.