Rupiah Terancam!
Pemerintah dan dunia usaha tanah air perlu mewaspadai dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit)
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemerintah dan dunia usaha tanah air perlu mewaspadai dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Dampak langsung Brexit terhadap ekonomi Indonesia relatif tidak ada.
Namun dampak tidak langsungnya tetap perlu diwaspadai, terutama di sektor keuangan. Akibat mata uang Inggris, Poundsterling jatuh maka permintaan dolar AS akan tinggi. Sehingga rupiah bisa melemah.
Demikian disampaikan Direktur Utama Bank Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiatmadja menjawab pertanyaan Tribun di sela acara berbuka puasa bersama Forum Editor di Jakarta, Jumat (24/6) malam.
Jahja menjelaskan, kemenangan kubu pro Inggris keluar dari Uni Eropa dalam voting yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Inggris, membuat kurs mata uang Inggris, Poundsterling jatuh terhadap sejumlah mata uang uang kuat dunia.
Menurut Jahja, kejatuhan Poundsterling membuat permintaan terhadap dolar AS meningkat.
Sehingga efeknya akan juga dirasakan terhadap kurs rupiah terhadap dolar AS.
"Efek langsung (Brexit) tak ada, tapi kurs ini kalau (kurs) Poundsterling jatuh karena Brexit, pengaruh ke dolar juga. Kalau permintaan dolar jadi tinggi, dolarnya akan berpengaruh ke kita juga. Exchange rate (kurs valas) terpengaruh," kata Jahja.
Dikhawatirkan Jahja, jika permintaan dolar AS menjadi tinggi, maka dolar AS juga ikut terus menguat terhadap rupiah.
"Seharusnya ini hanya dampak short term (jangka pendek) ya, tapi masalahnya Perancis dan Belanda serta Austria kan ada wacana mau ikut-kutan keluar dari Uni Eropa," jelas Jahja.
Dalam voting di Inggris, kubu yang ingin meninggalkan Uni Eropa menang dengan perolehan suara 51,9 persen. Sementara, kubu yang tetap bertahan di Uni Eropa sebanyak 48,1 persen.
Jahja menjelaskan, perekonomian Indonesia saat ini sedang sulit. Banyak sektor usaha yang turun, termasuk sektor pertambangan dan perkebunan. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun.
Anggaran Pemerintah dalam APBN juga bermasalah karena realisasi penerimaan pajak yang jauh di bawah target.
Dibandingkan dengan tahun 2008, kondisi ekonomi Indonesia di mata Jahja lebih buruk.
"Tahun 2008 itu daya beli masyarakat masih bagus. Sekarang kondisinya parah. Daya beli sekarang jatuh. Sektor pertambangan, perkebunan, manufaktur, packaging sekarang semua turun," katanya.
"Di sektor manufaktur sekarang line produksi di banyak perusahaan sudah sangat berkurang. Begitu juga di sektor tekstil," katanya.
Menurutnya, paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan Presiden Jokowi belum banyak menolong ekonomi RI.
"Paket-paket kebijakan itu niatnya menolong, tapi yang penting sebenarnya adalah bagaimana pemerintah bisa melakukan employment creation (penciptaan lapangan kerja). Tapi problemnya, APBN kita lemah, belanja pemerintah juga turun," tegasnya.
Menurutnya, pelemahan ekonomi tanah air saat ini juga karena dampak ekonoi global yang juga melemah. China yang selama ini banyak menyerap komoditi Indonesia juga sedang turun permintaannya. Dampaknya juga terasa bagi Indonesia.