Operator Telekomunikasi Asing Harus Beri Kontribusi Positif untuk Indonesia
Operator telekomunikasi diingatkan untuk tak kendor membangun jaringan tanpa harus menunggu keluarnya aturan soal network sharing
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Operator telekomunikasi diingatkan untuk tak kendor membangun jaringan tanpa harus menunggu keluarnya aturan soal berbagi jaringan aktif (Network Sharing).
“Pembangunan jaringan oleh operator melekat dalam kewajiban modern lisensi. Seandainya ada network sharing tak boleh melupakan khitah operator penyelenggara jaringan untuk tetap membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia,” tegas Wakil Ketua Desk Ketahaan dan Keamanan Cyber Nasional, Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Marsekal Pertama Prakoso, di Jakarta, Senin (18/7/2016).
Menurutnya, selama ini operator telekomunikasi yang sahamnya dikuasai investor asing hanya mau membangun di daerah yang mempunyai nilai ekonomis saja.
"Padahal NKRI bukan hanya di Jakarta atau di Jawa saja. Jangan sampai network sharing hanya dijadikan alasan bagi operator telekomunikasi untuk tak membangun jaringan telekomunikasi di daerah terpencil,” tegasnya.
Seperti diketahui, di industri seluler terdapat beberapa pemain seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Tri Indonesia, atau Smartfren. Diantara deretan pemain ini, memang Telkomsel yang paling sedikit investor asingnya dimana sekitar 35 persen sahamnya dikuasai SingTel, sedangkan sisanya dikuasai Telkom yang sahamnya dominan dikuasai pemerintah Indonesia.
Disarankannya, operator telekomunikasi yang sahamnya dikuasai asing juga harus terlibat dalam membangun jaringan telekomunikasi yang terintegrasi dengan pemerintah hingga tempat terpencil dan daerah perbatasan.
Sehingga tak hanya satu jaringan telekomunikasi saja yang ada di daerah perbatasan atau di daerah terpencil.
Tujuannya adalah jika terjadi kegagalan dalam satu jalur jaringan tidak akan menyebabkan kegagalan jaringan dalam waktu yang lama (system redundansi).
"Meskipun mereka adalah perusahaan asing, namun mereka juga harus memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan nasional khususnya dalam ketahanan nasional di bidang telekomunikasi dan Cyber. Karena mereka telah melakukan kegiatan usaha dan memakai sumber daya terbatas (frekuensi) yang dimiliki oleh Indonesia," tegasnya.
Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DetikNas) Garuda Sugardo menambahkan jika network sharing tidak diikuti dengan komitmen pembangunan infrastuktur, pihak yang paling diuntungkan adalah operator telekomunikasi asing.
Sebab operator telekomunikasi asing tak perlu capek-capek membangun jaringan di wilayah terpencil atau kurang menguntungkan. Mereka cukup mendompleng operator penyelenggara jaringan yang sudah ada.
“Menurut saya konsep berbagi jaringan itu saling berbagi bukan yang satu berbagi tapi yang lain minta bagian. Itu tidak adil dan bertendensi berpihak. Apalagi kepada operator yang sudah “menggadaikan” jaringan kepada vendor secara managed service,” ujarnya.
Garuda menegaskan, tidak ada keharusan pemain seperti Telkomsel untuk menerima konsep network sharing dengan sesama operator seluler, selama Telkomsel hanya diposisikan selaku “donatur” network.
Jika diposisikan saling berbagi dan memenuhi koridor business-to-business, mungkin Telkomsel bisa menerima konsep network sharing.
"Pemerintah harus mewaspadai operator 'pemalas' yang engan membangun infrastruktur telekomunikasi. Padahal mereka telah mengantungi ijin penyelenggaraan Operator Jaringan dan Operator Layanan,” tegas Garuda.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi mengingatkan network sharing di seluruh dunia merupakan jenis kebijakan insentif dari pemerintah untuk memperluas akses telekomunikasi masyarakat yang daerahnya belum terjamah operator manapun.
“Bukan diperuntukkan untuk membantu operator telekomunikasi yang malas membangun jaringan. Para operator tersebut hanya menjadikan network sharing sebagai kedok agar dapat mengefisiensikan biaya belanja modal dan operasionalnya. Anda harus tahu, di laporan keuangan Telkomsel itu ada 16.000 BTS harus disubsidi setiap bulannya demi melayani masyarakat di wilayah yang operator asing tak mau masuk. Jadi, saya bingung kalau ada operator yang enggan membangun didukung pemerintah, sementara ada yang sudah bersusah payah, malah mau dibebani lagi,” ketusnya.
Sekadar informasi, pintu masuk network sharing di Indonesia tengah berusaha dibuka dengan direvisinya Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang spectrum sharing.
Revisi PP No 52 rencananya akan mengubah perihal modern licensing bagi penyelenggara telekomunikasi dengan tidak lagi menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur tetapi di service level agreement (SLA). Sedangkan Revisi PP No 53 rencananya akan membuka peluang penggunaan frekuensi secara bersama oleh operator.