Pemerintah Harus Tegas Buat Aturan, Jangan Ada Monopoli di Sektor Telekomunikasi
Semestinya perusahaan telekomunikasi tidak serakah dan tidak mengedepankan keuntungan karena telekomunikasi bagian hajat hidup orang banyak
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu monopoli Telkomsel di luar Jawa, khususnya di Indonesia bagian Timur terus bergulir, bahkan pemerintah selaku regulator ingin merevisi aturan dalam PP No 52 Tahun 2000 yang mengatur biaya interkoneksi dan berbagi jaringan aktif (network sharing/NS).
Namun saat ini perusahaan tersebut berusaha melobi pemerintah agar tidak melakukan revisi pasalnya selama ini Telkomsel mendompleng jaringan dari induk perusahaannya, Telkom untuk beroperasi.
Pengamat Telekomunikasi dari Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika mengatakan, jika dilakukan revisi Telkomsel melihat aturan tersebut sebagai ancaman.
"Begitu NS diberlakukan dan jaringan Telkom bisa dipakai semua operator, artinya dia (Telkomsel) harus merelakan potensi keuntungan ini tidak lagi jatuh ke tangannya," ujar Harryadin dalam keterangan pers kepada wartawan, Minggu (17/7).
Padahal jika dilihat lebih jauh, dalam berbagi jaringan ini yang diuntungkan adalah konsumen atau masyarakat Indonesia.
Ia lantas mengimbau Telkomsel tidak serakah dan tidak mengedepankan keuntungan sebab telekomunikasi merupakan hajat hidup orang banyak dan harus disikapi secara bijak.
Nah, pemerintah menurut Harryadin harus bersikap tegas, khususnya dalam menetapkan aturan agar tak terjadi monopoli.
"Harus kita letakkan permasalahan ini dari sudut pandang wellfare konsumen. Pemerintah harus bisa tegas terhadap Telkomsel," katanya.
Lebih jauh, Harryadin mengungkapkan bahwa perusahaan itu juga sempat diaudit, terutama dari segi investasi dan keuntungan yang diperoleh.
Menurut dia, Telkomsel meraup laba jauh dari yang seharusnya didapat sehingga operator tersebut dicap sebagai super normal profit company, atau perusahaan dengan keuntungan di atas normal.
Kenyataan ini dikatakan Harryadin, berujung pada kesimpulan bahwa Telkomsel sepenuhnya mencari untung melalui jaringan Telkom.
Perusahaan yang sahamnya juga dipegang pihak asing ini menurut Harryadin harus diusut.
Negara memiliki Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) yang bisa bergerak untuk menindak hal tersebut.
"Sebenarnya kalau kita berpedoman pada UU persaingan usaha, pemerintah bisa mengingatkan pada Telkomsel yang keuntungannya terlalu berlebihan. Sehingga mbok yaa dikurangi," tutur Harryadin.
Tak hanya itu, dosen UI ini juga menyoal formula dari biaya interkoneksi antaroperator.
Menurutnya, perlu keterbukaan dari pemerintah sendiri untuk formulasi biaya tersebut, khususnya yang terkait Telkomsel.
Tujuannya semata-mata membuat publik mengerti, untuk apa sajakah biaya yang mereka harus bayarkan pada operator.
Pasalnya, Harryadin melihat yang paling terdampak dari penetapan biaya interkoneksi adalah konsumen.
Namun demikian, ia tak lantas mencap salah Telkomsel, yang telah berusaha keras membangun jaringan di luar Jawa, sehingga bisa mengatur biaya telekomunikasi sesuka hati.
Tapi, alangkah lebih baik jika formulasi interkoneksi diperhitungkan secara matang.
"Memang kami tidak ingin merugikan Telkomsel, tapi ya jangan profitnya terlalu besar. Yang ingin dibuka itu formula hitung-hitungan biaya interkoneksi," ujar Harryadin.
Sehingga kata dia bisa dihitung itu, mulai dari biaya membangun jaringan, balik modal berapa tahun.
"Kami di UI sudah bikin penghitungan, kalau menurut hitungan itu sih untungnya Telkomsel masih terlalu besar," katanya.