Pelarangan Parsel Jangan Sampai Mematikan UKM
Pelarangan parsel jangan sampai mematikan UKM, sehingga menghambat pengembangan ekonomi kreatif
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bisnis parsel yang sejatinya menjadi bagian dari tradisi pertukaran bingkisan di Tanah Air melibatkan banyak usaha kecil dan menengah (UKM).
Lantaran alasan itulah, penting bagi banyak kalangan, terlebih pemerintah untuk mementingkan sektor UKM.
Salah satunya, kebijakan pelarangan menerima parsel bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara sejak 2006. Kebijakan itu merupakan regulasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pemerintah.
"Pelarangan parsel jangan sampai mematikan UKM, sehingga menghambat pengembangan ekonomi kreatif dan upaya pemerintah menciptakan lapangan kerja," kata Direktur Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha Universitas Trisakti, Tulus TH Tambunan, dalam keterangan tertulisnya, hari ini.
Menurutnya, pemerintah harus mencarikan solusi atau alternatif agar pelarangan tersebut tidak mematikan usaha kecil dan rumahan yang selama ini mengandalkan hidupnya dari bisnis parsel.
"Bisnis ini juga sangat besar pengaruhnya dalam mendorong konsumsi sehingga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.Pelarangan parsel menghancurkan tradisi unik serta mendorong pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Sementara, ekonom senior The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menyatakan bahwa pemerintah wajib membina UKM parsel guna membendung serbuan produk impor di pasar dalam negeri.
"Hadiah atau parsel yang dimaksud tidak boleh itu seperti pemberian uang, perhiasan, barang mewah, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya dengan maksud tertentu," pungkas Enny.
Bagi kalangan UKM, bisnis parsel menjadi motor penggerak perekonomian. Asosiasi Pengusaha Parsel Indonesia dalam catatannya beberapa waktu silam menunjukkan, bisnis parsel, khususnya pada Lebaran, sanggup memutar uang hingga Rp 5 miliar per hari. ( Josephus Primus)