Terkait Interkoneksi, FITRA Laporkan Kemkominfo ke Ombudsman
Apung menambahkan, isi surat edaran itu terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara merevisi aturan tentang biaya interkoneksi antar-operator telepon seluler terus dipersoalkan. Kali ini, Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA) melaporkan kebijakan Menkominfo itu Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi mengatakan, mulanya biaya sambungan telepon antar-operator itu diatur dalam Peraturan Menkominfo Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi. Namun, pengaturan biaya interkoneksi yang terbaru hanya berdasarkan surat edaran Kemenkominfo Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016.
"Anehnya, perubahan kebijakan ini bukan selevel Peraturan Menteri tetapi hanya Surat Edaran No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 dan akan diberlakukan mulai 1 September 2016 sampai dengan Desember 2018," kata Manager Advokasi dan Investigasi Forum Informasi untuk Transparansi Anggaran, Apung Widadi .dalam keterangannya
Pegiat antikorupsi itu meyakini ada kejanggalan pada kebijakan yang diatur dengan peraturan menteri, namun direvisi dengan surat edaran Plt Dirjen.
Apung menambahkan, isi surat edaran itu terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. “Ada indikasi kebijakan itu bisa menyebabkan kerugian negara,” kata Apung.
Apung menjelaskan, pada Pasal 22 PP Nomor 52 Tahun 2000 diatur tentang kesepakatan interkoneksi antar-penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak boleh saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.
Sedangkan pada Pasal 23 PP yang sama mengatur tentang biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparans, disepakati bersama dan adil.
Dalam pengamatan Apung, revisi aturan tentang biaya interkoneksi itu juga terkesan terburu-buru. Bahkan, surat edaran dari Kominfo untuk merevisi biaya interkoneksi itu tidak ditandatangani oleh pejabat definitif, tapi oleh pelaksana tugas (Plt) Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI), Geryantika Kurnia.
Oleh karena itu, FITRA mendesak ORI mencermati perubahan biaya interkoneksi itu. "Untuk itu, kami meminta kepada Ombusman agar ikut terlibat dan membatalkan kebijakan yang akan berpotensi pada kerugian negara," pinta Apung.
FITRA menghitung potensi kerugian Negara atas tidak masuknya Pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) deviden ke negara dari penurunan interkoneksi ini selama lima tahun sebesar ratusan triliun rupiah. Yakni, kerugian Pajak (PPh, PPN, PNBP) sebesar Rp. 2,3 Triliun.
Deviden yang tidak dibayarkan ke Negara sebesar Rp 51,6 triliun, dan Potensi Kerugian Perekonomian negara karena laba BUMN telekomunikasi menurun sebesar Rp 79 Triliun, serta Pembangunan infrastruktur dari daerah khususnya telekomunikasi akan terhambat karena penurunan investasi Rp. 19,5 Triliun.
Kebijakan Menkominfo itu juga, lanjut Apung, bertolak belakang dengan Nawacita : membangun Indonesia dari pingiran. "Untuk itu, kami mendorong ORI untuk mencegah dan menindaklanjuti potensi kebijakan yang tidak transparan yang akan berdampak pada pelayanan publik seluruh Indonesia," katanya.
ORI, lanjut Apung, perlu menindaklanjuti informasi ini dengan memeriksa beberapa aktor terkait kebijakan penurunan tarif interkoneksi.
Yakni, mulai dari Menkominfo Rudiantara, Pelaksana Tugas (PLT), Dirjen Penyelenggaran Pos dan Informatika yang menandatangani surat edaran, Operator yang mengirim surat kepada Kemeninfo untuk mendorong percepatan kebijakan interkoneksi.