Menko Maritim: 'Dry Port' Solusi Paling Cepat Atasi Dwelling Time
pembangunan dan pengembangan dry port menjadi solusi paling cepat mengatasi masalah bongkat muat barang
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, CIKARANG – Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menegaskan pembangunan dan pengembangan dry port menjadi solusi paling cepat mengatasi masalah bongkat muat barang (dwelling time).
Pasalnya, dwelling time di Cikarang Dry Port saat ini hanya 2,12 hari, lebih rendah dibanding Pelabuhan Tanjung Priok yang berkisar 3-4 hari.
“Inilah yang kita butuhkan untuk masalah dwelling time yang menjadi perhatian utama Presiden. Dry port paling dapat diandalkan menyelesaikan masalah ini,” kata Luhut saat berkunjung ke Cikarang Dry Port yang dioperasikan oleh PT Cikarang Inland Port, Rabu (21/9/2016).
Menurut dia, hasil yang dicapai oleh dwelling time di dry port mesti dioptimalkan. Dengan adanya dry port, biaya (cost) logistik akan turun, kemacetan di pelabuhan berkurang, dan melahirkan dampak berantai yang positif bagi industri nasional.
“Ini konsepnya sudah bagus, tinggal dioptimalkan,” paparnya.
Luhut menambahkan dengan konsep yang sudah terarah, pemerintah akan memberikan dukungan berupa regulasi yang tepat.
“Setiap pelabuhan yang dekat dengan kota besar, perlu ada dry port,” katanya.
Dia menilai di Pulau Jawa dibutuhkan sedikitnya lima dry port untuk menunjang pelabuhan yang dekat dengan kota besar. Kelima dry port itu antara lain berlokasi di Banten, Cikarang, Semarang, dan Surabaya.
Dengan dry port, pemerintah tidak perlu melakukan investasi besar-besaran di pelabuhan yang membutuhkan waktu lama.
“Sepanjang yang membuat efisiensi, akan kami dukung,” paparnya.
Dalam kunjungan tersebut, Luhut juga meminta masukan dari stakeholders terkait kebijakan apa saja yang dibutuhkan untuk mendorong pengembangan dry port sehingga terjadi efisiensi logistik serta penurunan dwelling time.
Pemerintah akan menyerap seluruh masukan untuk mencari solusi terbaik untuk masalah dwelling time.
“Apa saja yang dibutuhkan dari regulasi pemerintah, kami minta masukan dari seluruh pihak terkait. Dengan demikian solusi lebih cepat dan regulasi pemerintah juga tepat sasaran,” ucapnya.
Luhut juga menjelaskan pihaknya menerima laporan bahwa dengan adanya dry port, efisiensi yang terjadi antara lain dari sisi waktu terjadi penghematan sebesar 20 persen dan total biaya (cost) logistik terjadi penghematan sekitar 30 persen.
Semakin banyak barang yang diserap dari Tanjung Priok ke dry port, dwelling time Tanjung Priok menurun drastis.
Menko Maritim juga menyatakan akan berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan, dan Dirjen Bea Cukai untuk lebih mempercepat dwelling time di dry port seperti pemeriksaan barang berupa custom clearance dan carantina clearance.
Selama ini, barang dengan destinasi dry port masih diperiksa di pelabuhan terdekat.
Di sisi lain, Menko Maritim mendorong agar dry port yang telah beroperasi seperti Cikarang Dry Port untuk mengembangkan kapasitas sehingga mampu menopang jalur ekspor-impor serta logistik nasional.
“Dry port di Cikarang perlu dibesarkan, misalnya kapasitas 10 juta TEUS dalam dua tahun ke depan. Dengan demikian multiplier effect-nya akan lebih besar,” paparnya.