Revisi PP 52/53 Berpotensi Rugikan Industri Telekomunikasi
Meski melihat ada yang bermanfaatnya, namun tidak sedikit pasal di revisi PP 52/53 yang berpotensi akan merusak industri telekomunikasi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi menilai uji publik Revisi PP 52/53 yang terlalu singkat dan tidak ideal bakal berefek tak baik untuk industri telekonmunikasi.
“Jika niat Kominfo tulus ingin mendapatkan masukan dari masyarakat, idealnya uji publik terhadap revisi PP 52/53 tahun 2000 dapat dilakukan dalam kurun waktu 30 hari kerja,”papar Ridwan di Jakarta dalam keterangan persnya.
Ridwan melihat ada pasal yang memberikan manfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat. Salah satu kebaikkan yang tertuang dalam revisi PP 52/53 adalah kewajiban bagi operator untuk mendahulukan kepentingan umum dan masyarakat ketika ada bahaya atau terjadi bencana alam.
Meski melihat ada yang bermanfaatnya, namun tidak sedikit pasal di revisi PP 52/53 yang berpotensi akan merusak industri telekomunikasi. Bahkan di dalam revisi 53, Kominfo berpotensi melanggar UUD dan UU Telekomunikasi.
Pasal yang dinilai Ridwan merugikan industri telekomunikasi diantaranya, diwajibkannya berbagi jaringan atau network sharing antar penyelenggara jaringan telekomunikasi Dengan diberlakukannya kewajiban berbagi jaringan tersebut, justru berpotensi merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.
Sejak diberlakukannya UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999, setiap operator telekomunikasi telah membangun jaringan telekomunikasinya sesuai dengan amanah UU Telekomunikasi dan modern licensing yang telah mereka kantungi.
Bahkan ada operator telekomunikasi yang telah membangun jaringan telekomunikasi hingga pelosok negeri. Bahkan hingga hingga wilayah terpencil dan tidak menguntungkan.
Ridwan menjelaskan jika network sharing diwajibkan bagi operator telekomunikasi yang telah membangun jaringan, kapasitas jaringan yang mereka miliki dipastikan akan berkurang karena dimanfaatkan oleh operator lain.
“Padahal ketika membangun, kapastias yang mereka sediakan hanya diperuntukan bagi kebutuhannya sendiri. Namun ketika revisi PP 52/53 diwajibkan untuk network sharing, maka jaringan yang tersedia harus dibagi ke operator lain,” ujar Ridwan.
Padahal ketika sewa menyewa jaringan, ada perjanjian kualitas layanan yang harus dijaga. Sehingga network sharing ini akan berpotensi buruk kepada operator yang memiliki jaringan atau menyewakan jaringan.
Sebenarnya network sharing ini sudah lazim dilakukan antar operator penyelenggara jaringan telekomunikasi. Contohnya saja ketika operator melakukan perjanjian sewa menyewa kapasitas jaringan fiber optic yang dimiliki oleh operator penyelenggara jaringan untuk layanan back bone maupun transmisi antar BTS. Sehingga Ridwan beranggapan network sharing tidak perlu diatur atau diwajibkan oleh pemerintah.
“Selama ini operator telekomunikasi sudah melakukan berbagi jaringan ini dengan sekema business to business. Jika ada kata wajib network sharing pada revisi PP52/53 maka pemerintah sudah mencampuri urusan bisnis yang sebenarnya bukan menjadi domain pemerintah,”terang Ridwan.
Selain mencampuri urusan bisnis, network sharing yang digagas pemerintah berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat seperti kartel.
Misalnya ada dua operator yang membangun di wilayah Barat dan di bagian Timur. Mereka melakukan perjanjian sharing jaringan. Maka sharing jaringan tersebut berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan akan merusak pasar.
Ridwan berpendapat network sharing tak selamanya buruk asalkan Kominfo mau mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan oleh ITU (International Telecommunication Union). Dalam rekomendasi ITU disebutkan, network sharing dijadikan insentif oleh pemerintah bagi operator untuk mengembangkan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil dan belum mendapatkan layanan telekomunikasi.