Produksi Rokok Turun, Industri Desak Pemberantasan Rokok Ilegal
Kementerian Keuangan secara resmi mengumumkan turunnya penerimaan cukai di 2016 yang dilihat dari hasil realisasi sementara APBN-P 2016.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan secara resmi mengumumkan turunnya penerimaan cukai di 2016 yang dilihat dari hasil realisasi sementara APBN-P 2016.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan penerimaan cukai 2016 mengalami shortfall Rp 4,6 triliun dibanding target APBN-P 2016.
Kementerian Keuangan mencatat total penerimaan cukai untuk sementara mencapai Rp 143,5 triiliun, atau setara dengan 92,7 persen target APBN-P 2016 sebesar Rp 148,1 triliun.
Penyebab turunnya penerimaan cukai adalah penurunan produksi hasil tembakau dari 348 miliar batang di tahun 2015 menjadi 342 miliar batang di tahun 2016, atau turun sebesar 1,7 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan meskipun tidak tercapainya target adalah karena penurunan produksi rokok, namun perlu diwaspadai juga apakah berkurangnya produksi ini disebabkan oleh berpindahnya konsumen ke rokok ilegal.
Menurut Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Muhaimin Moefti, ia mengapresiasi usaha Bea Cukai untuk terus memerangi rokok ilegal.
“Sejalan dengan terus ditingkatkannya usaha pemberantasan rokok ilegal, kebijakan cukai yang berkesinambungan serta menjamin keberlangsungan industri juga penting,” katanya.
Ia melanjutkan, sudah tiga tahun ini memang produksi rokok stagnan. Rokok ilegal semakin marak karena semakin mahal harga rokok legal karena kenaikan cukai, maka makin besar insentif produsen rokok ilegal untuk beroperasi.
“Saat harga rokok legal bisa mencapai Rp 18.000 per bungkus, rokok ilegal bisa dijual di kisaran Rp 8.000. Ini karena rokok ilegal tidak membayar cukai,” katanya.
Menurut Moefti, untuk membantu memperlambat pertumbuhan rokok ilegal, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kebijakan cukai yang diambil pemerintah. Kenaikan cukai drastis yang terlalu besar akan memicu maraknya perdagangan rokok ilegal.
Ia juga meminta pemerintah memperhatikan kenaikan cukai tak jauh dari inflasi yakni sebesar 6-7 persen. “Bila mencapai 10 persen ini menjadi beban buat industri,” lanjutnya.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menurut penelitian UGM saat ini peredaran rokok ilegal mencapai 12 persen.
“Kondisi ini dipicu dari regulasi yang ada dan permintaan yang tinggi di pasar. Jangan sampai di tahun depan jumlahnya semakin meningkat,” paparnya.
Mengenai menurunnya penerimaan cukai 2016, menurut Yustinus harus balik pada fungsi cukai itu sendiri. Cukai memiliki tujuan utama untuk pengendalian bagi produk yang memiliki dampak negatif, jika akhirnya menjadi pemasukan bagi kas negara itu lain soal.
"Sebenarnya untuk menambah pendapatan melalui cukai pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi objek cukai. Negara kita memiliki obyek cukai paling sedikit, hanya tiga. Sudah saatnya pemerintah melakukan ekstensifikasi, seperti wacana terakhir mengenai cukai plastik kresek," tuturnya.