Desakan Revisi PP Gambut kembali Bergulir
Sejumlah pihak kembali menggulirkan revisi PP No.57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak kembali menggulirkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Para pelaku usaha mendesak pemerintah segera merevisi PP ini karena dinilai kontroversial, khususnya mengenai kriteria gambut rusak yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut paling rendah 0,4 meter.
Penetapan 30 persen dari kawasan hidrologis gambut (KHG) sebagai fungsi lindung juga dinilai akan mematikan ekonomi rakyat dan menghambat investasi.
Selain itu, aturan mengenai pemberlakukan moratorium pembukaan baru atau land clearing pada lahan gambut juga didesak direvisi. Termasuk juga kebijakan menyetop izin yang diberikan untuk pemanfaatan lahan gambut dan pengambilalihan lahan yang terbakar oleh pemerintah dinilai diskriminatif bagi pelaku usaha di lahan gambut.
Ketua Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto mengatakan, revisi PP Gambut perlu segera dilakukan karena aturan itu akan menyulitkan masyarakat yang sudah turun-temurun memanfaatkan lahan gambut untuk kehidupan.
"Ketentuan mengenai tinggi muka air 0.4 meter misalnya tidak hanya mengkriminalisasi pengelolaan kebun sawit namun juga bagaikan “guillotine" yang siap memenggal mati kehidupaan masyarakat yang hidupnya tergantung dari perkebunan sawit," kata Didik.
Untuk itu, Didik mendesak pemerintah segera merevisi PP ini khususnya pasal-pasal kontroversial tersebut. "Saya kira Bapak Presiden perlu diberi masukan bahwa ada 344 000 kepala keluarga yang hidupnya bergantung pada kebun sawit di lahan gambut," ujarnya Selasa (21/2).
Ia menjelaskan, kebijakan pemerintah seharusnya melindungi investasi di industri sawit dalam upaya memperkuat ekonomi domestik untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Apalagi pada 2017, menurut Menteri Keuangan, ekonomi indonesia mengandalkan peningkatan konsumsi domestik sebagai antisipasi kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS).
Selain merevisi, Didik juga mendesak agar Presiden mendengar masukan dari para pemangku kepentingan yang terlibat langsung. Menurutnya, pemerintah harusnya berorientasi memperkuat ekonomi domestik. Karena itu, sumber pertumbuhan ekonomi melalui perkebunan sawit rakyat dan investasi perlu terus didorong.
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi), Darmono Taniwiryono, mengharapkan, kebijakan pemerintah harus dapat memenuhi tuntutan kepentingan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan hukum sesuai yang diamanatkan oleh UUD dan pembangunan berkelanjutan.
Di mana pembangunan berkelanjutan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat, mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi. Tujuan lain yakni menggalakkan pertanian berkelanjutan dan hidup sehat serta mendukung kesejahteraan untuk semua usia.
Oleh karena itu, kata Darmono, segala kebijakan yang dilahirkan termasuk PP 57/2016 haruslah memliki kajian akademis yang bersifat holistik.(Noverius Laoli)