Pengamat: Atasi Konflik, Transportasi Online dan Konvensional Harus Berkolaborasi
Pembatasan kuota transportasi online merupakan salah satu butir revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan menyarankan pemerintah mendorong kolaborasi antara transportasi online dengan transportasi konvensional.
Mekanisme ini dinilai akan menjadi solusi terhadap polemik antara kedua jenis moda transportasi tersebut saat ini.
Dia juga meminta Pemerintah menetapkan batasan yang tegas berupa standar pelayanan minimum (SPM) yang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna.
Standard ini menurutnya, harus diatur secara nasional dan tidak diserahkan kepada pemerintah daerah.
Sosiolog Musni Umar menilai, pembatasan kuota transportasi berbasis aplikasi oleh pemerintah berpotensi menciptakan tambahan pengangguran baru selain merugikan konsumen.
Keberadaan bisnis angkutan berbasis aplikasi dinilainya membantu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Dia menganggap pemberlakuan kuota bisa mengurangi lapangan kerja yang selama ini sudah dinikmati masyarakat.
“Padahal pemerintah sendiri yang terus berusaha membuka lapangan pekerjaan,” kata Musni saat dihubungi wartawan, Senin (26/3/2017).
Pembatasan kuota berpeluang membuat mereka kehilangan pendapatan yang berimbas pada penurunan daya beli.
Dia mengutip data Badan Pusat Statistik, pada Agustus 2016 jumlah penduduk bekerja meningkat 3,59 juta orang dibandingkan bulan Agustus 2015. Sementara, jumlah pengangguran turun 530 ribu orang.
Kenaikan jumlah tenaga kerja terutama di sektor Jasa Kemasyarakatan 1,52 juta orang (8,47 persen), Perdagangan 1,01 juta orang (3,93 persen), serta sektor Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi 500 ribu orang (9,78 persen).
Melihat data itu, sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang tenaga kerja dengan pertumbuhan tertinggi.
Pembatasan kuota transportasi online merupakan salah satu butir revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelengaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang dilakukan pemerintah.
Ketentuan ini dinilai akan menganggu mekanisme pasar dan persaingan usaha menjadi tidak sehat.
Musni menegaskan, transportasi online masih dibutuhkan masyarakat.
Selain memudahkan akses transportasi masyarakat, keberadaan transportasi online juga menjadi mata pencaharian utama bagi pengemudinya.
Apalagi sebagian besar pengemudi transportasi online merupakan masyarakat yang berada dalam status usia produktif.
“Pemerintah justru harus mencari solusinya karena transportasi online ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat,” ujar Musni.