Pemain Fintech Garap Nasabah yang Selama Ini Dijauhi Perbankan Konvensional
"Skema pertanian tidak bisa menggunakan sistem bunga, karena petani menggunakan uangnya untuk membeli pupuk, bibit, ataupun pakan."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu kelebihan jasa keuangan berbasis teknologi informasi atawa financial technology (fintech) adalah bisa menjangkau pelaku bisnis yang selama ini tidak terjamah bank.
Pelaku bisnis itu bergerak, mulai sektor pertanian, peternakan, hingga perikanan.
Padahal, sebagai salah satu sektor strategis di Indonesia, mereka terkesan seperti anak tiri. Pelaku usaha pun mesti berjibaku mengatasi berbagai tantangan dalam mencari pembiayaan.
Dukungan dari kebijakan pemerintah dan perbankan, terutama untuk petani, nelayan, dan peternak skala kecil dirasa belum maksimal.
Di sinilah peranan fintech menjadi terasa. Sebab, banyak perusahaan fintech yang mau mengucurkan kredit ke pelaku usaha bidang pertanian, peternakan, juga perikanan.
Yohanes, Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Crowde, mengatakan, alasan petani enggan ke bank, selain tidak memiliki jaminan atau collateral untuk mengajukan kredit, sistem perbankan juga tidak cocok dengan bisnis pertanian.
"Skema pertanian tidak bisa menggunakan sistem bunga, karena petani menggunakan uangnya untuk membeli pupuk, bibit, ataupun pakan. Namun, sebelum panen harus melakukan cicilan dengan bunga kepada institusi tertentu," ujar Yohanes.
Belum lagi, menurut pendiri start-up fintech yang menjembatani kebutuhan petani dan investor (pemodal) ini, ada kemungkinan gagal panen, yang terus memberikan beban kepada petani. Ujung-ujungnya, petani bisa terbelit utang.
Namun, bukan hanya sekadar menyalurkan kredit. Perusahaan fintech juga memberikan pendampingan agar usaha penerima kredit berkembang.
Misalnya, Crowde membina petani untuk bisa mendapatkan uang lebih dari hasil panennya. Tapi, "Kami menyeleksi, apakah petani ini memenuhi kriteria dari sisi pengalaman dan konsistensi," ujar Yohanes.
Hanya, Niki Luhur, Ketua Umum Asosiasi FinTech Indonesia, menyatakan, memang membangun start-up fintech tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Mereka masuk ke calon pengguna bukan berdasarkan kebutuhan pengguna apa," katanya.
Contoh, kalau mau masuk ke kredit pertanian, perusahaan fintech tidak cukup sebatas melakukan edukasi soal bagaimana cara memanfaatkan fasilitas pinjaman mereka. Perusahaan fintech juga harus mengidentifikasi kebutuhan petani dan risiko yang mereka hadapi.
"Petani harus diberi pengetahuan, bagaimana memprediksi cuaca, lalu bagaimana cara menghitung kebutuhan produksi untuk lahan yang dimiliki. Lalu, prediksi panen dan pendapatan," imbuh Niki.
Bahkan, sampai bagaimana memasarkan hasil panen tanpa merugikan petani. Ambil contoh, menjual tanpa melalui pedagang pengumpul (pengepul). Dengan melakukan itu, perusahaan fintech juga akan mengetahui kebutuhan para calon penerima kredit mereka.