Wacana Pembatasan Impor Tembakau Perlu Dikaji Ulang
Beleid tata niaga tembakau yang akan diteken Menteri Perdagangan ini perlu mempertimbangkan aspek industri, selain juga aspek pertanian
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pembatasan impor tembakau perlu dikaji ulang agar hasil industri tembakau menyerap 100 persen tembakau Indonesia.
Beleid tata niaga tembakau yang akan diteken Menteri Perdagangan ini perlu mempertimbangkan aspek industri, selain juga aspek pertanian.
Pasalnya, sebagian produksi tembakau Indonesia belum sesuai dengan kebutuhan industri karena kualitasnya.
"Industri juga membutuhkan jenis dan kualitas tembakau yang sesuai. Saya pikir, semua aturan harus dilihat dari segala aspek,"ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda dalam pernyataan persnya, Selasa(20/6/2017).
Wacana pembatasan impor tembakau ini terdapat di dalam rancangan peraturan menteri perdagangan yang mengatur tata niaga impor tembakau yang diperkirakan rampung pada 2017.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan menyampaikan jika mau mendapatkan izin impor, maka pabrikan wajib menyerap tembakau lokal.
Wacana pembatasan impor ini berawal dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan.
Di penghujung 2016, rapat paripurna DPR mengesahkan RUU Pertembakauan yang merupakan RUU Inisiatif DPR RI untuk masuk dalam proses pembahasan dengan pemerintah pada tahun sidang 2017.
Huda khawatir, jika pemerintah bersikeras memberlakukan pembatasan impor tembakau, industri hasil tembakau akan kekurangan pasokan sehingga aktivitas produksinya terganggu.
Hal ini pun berpotensi meningkatkan perdagangan rokok ilegal yang telah mencapai sekitar 11,7 persen pada tahun 2014.
"Negara akan dirugikan besar di sini," kata Huda.
Berdasarkan studi Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2013, negara telah mengalami kerugian hingga Rp 8 triliun akibat perdagangan rokok ilegal.
Sementara itu Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menjelaskan pembatasan bisa dilakukan secara bertahap serta diharapkan mampu menyeimbangkan antara kepentingan petani dan juga industri hasil tembakau (IHT).
"Misalnya, minimum yang diserap tahun ini 50 persen. Tahun kedua 75 persen. Tahun ketiga dan seterusnya 100 persen,"ujar Rosan.