Bank Tanah Perlu Dibentuk Demi Kelangsungan Program Rumah Murah
Masalah pembebasan tanah masih terus menjadi penghalang dalam pembangunan properti, termasuk diantaranya program rumah murah milik pemerintah.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah pembebasan tanah masih terus menjadi penghalang dalam pembangunan properti, termasuk diantaranya program rumah murah milik pemerintah. Keberadaan spekulan tanah yang memegang kendali di lapangan, membuat harga tanah melambung tinggi.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, agar program membangun 4 juta rumah murah yang ditargetkan terealisasi pada 2019, pemerintah harus mengubah strategi dan pendekatan. Salah satunya dengan membentuk bank tanah.
"Bank tanah untuk menjamin kelangsungan program rumah murah," kata Ali, Minggu (13/8/2017).
Bank tanah akan menyediakan pasokan lahan untuk rumah murah. Jika tidak terbentuk bank tanah, harga tanah akan terus terdongkrak dan pasokan lahan semakin sulit.
Ali menambahkan, harga tanah yang tinggi akan membebani pengembang dan konsumen kelas bawah. Jika hal itu terjadi, program rumah murah terancam berantakan.
Apalagi pemerintah juga sedang mengebut sejumlah proyek infrastruktur dan maritim. Dikhawatirkan dana untuk program rumah murah menciut karena dalam anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), anggaran dipangkas menjadi Rp3,1 triliun dari sebelumnya Rp 9,7 triliun.
"Kami ingatkan saat ini dana tersebut tidak akan cukup dengan rencana pemerintah membangun rumah murah," ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menargetkan membangun 4 juta unit rumah murah hingga 2019. Rumah murah ini ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan anggaran Rp 72 triliun.
"Rumah murah ditetapkan dengan mengacu progres pembangunan rumah murah. Program ini sekaligus mengatasi backlog yang telah mencapai 11,6 juta rumah," kata Ali.
Mengenai backlog, Ali melihat pemerintah telah melakukan sejumlah terobosan inovatif dengan teknologi baru yang bisa diadopsi. Contohnya, rumah kayu dengan teknologi tinggi, tahan gempa, dan anti air. Rumah dengan model seperti ini harganya lebih murah.
Berdasarkan Laporan McKinsey Global Institute (MGI), sekitar 330 juta rumah tangga yang bermukim di perkotaan di seluruh dunia tinggal di perumahan di bawah standar. Kemudian sekitar 200 juta rumah tangga di negara berkembang tinggal di daerah kumuh.
Prediksi MGI pada 2025, sekitar 440 juta rumah tangga perkotaan di seluruh dunia, sekitar 1,6 miliar orang, akan menempati perumahan yang tidak memadai, tidak aman, karena tidak punya akses finansial.
Menurut hitungan McKinsey Global Institute, rumah yang terbuat dari kayu rekayasa jauh lebih murah daripada rumah beton dan bata dengan ukuran yang sama.
Harga rumah sekitar 30 persen lebih murah, efisiensi skala, pembuatan dan produksi otomatis, biaya pondasi lebih murah, konstruksi yang cepat dan biaya pembiayaan yang jauh lebih murah. Selain tahan api, bahan rumah kayu juga tahan air, tahan cuaca, tahan rayap, shock-proof dan load-bearing.