Ambruknya Saham-saham Emiten BUMN Konstruksi di Lantai Bursa
Empat emiten konstruksi BUMN membukukan arus kas negatif. Hingga kuartal III-2017, kas WSKT dari aktivitas operasional minus Rp 5,08 triliun.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga mayoritas saham emiten konstruksi ambruk. Isu seretnya likuiditas keuangan turut membayangi kejatuhan saham sektor konstruksi, terutama emiten konstruksi BUMN.
Harga saham Waskita Karya (WSKT), misalnya, sudah rontok 10,43% dalam tiga hari terakhir menjadi Rp 1.950 per saham. Selama sepekan terakhir, saham PT PP (PTPP) dan Adhi Karya (ADHI) juga anjlok masing-masing sedalam 8,79% dan 10,29 persen.
Berdasarkan catatan KONTAN, sejak awal tahun ini hingga kemarin atau year-to-date (ytd), rata-rata harga saham emiten konstruksi sudah menyusut 13,51%.
Catatan order book yang bagus rupanya tak mampu menahan kejatuhan harga saham emiten sektor konstruksi.
Hingga akhir September tahun ini, arus kas emiten konstruksi masih negatif. Boleh jadi, arus kas negatif akan berlanjut hingga akhir tahun nanti. Kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu investor menjauhi saham konstruksi.
Empat emiten konstruksi BUMN membukukan arus kas negatif. Hingga kuartal III-2017, WSKT mencatatkan kas dari aktivitas operasional minus Rp 5,08 triliun.
Angka ini memang lebih baik dibandingkan posisi setahun lalu yang minus Rp 8,99 triliun. ADHI juga mencetak kas dari hasil operasional negatif Rp 3,02 triliun, diikuti Wijaya Karya (WIKA) minus 2,70 triliun dan PTPP minus Rp 1,40 triliun.
Kepala Riset Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan tak menyangkal adanya anggapan bahwa arus kas negatif menyebabkan investor enggan masuk ke saham sektor konstruksi.
Beberapa program pemerintah juga ikut berandil dalam mengeringkan arus kas emiten konstruksi. Biasanya proyek dibayarkan setelah 75% pekerjaan rampung. "Yang menjadi kekhawatiran adalah adanya tambahan beban. Di sisi lain, BUMN Karya didorong mencari pendanaan mandiri," ungkap dia.
Cari dana mandiri
Meski dilimpahi proyek strategis pemerintah, Alfred menilai, emiten konstruksi BUMN kurang dibekali pasokan dana yang memadai. Apalagi untuk memperoleh pendanaan dari pemerintah, banyak syarat harus dipenuhi.
Belakangan ini, emiten konstruksi BUMN memang rajin mencari pendanaan mandiri. Misalnya mengantarkan anak usahanya untuk initial public offering (IPO). Langkah ini dilakukan PTPP lewat IPO PP Presisi (PPRE).
WIKA pun mengantarkan IPO anaknya, Wika Gedung (WEGE).
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee juga melihat, cashflow lagi-lagi merupakan hal yang menjadi pertimbangan investor untuk mengoleksi saham konstruksi. Namun Hans menyebutkan, tren arus kas emiten konstruksi akan membaik di kuartal keempat.
Baca: Andi Narogong Juga Ajukan Judicial Review Setelah Bocorkan Keterlibatan Pihak Lain di Korupsi e-KTP
Baca: Hakim Kusno: Praperadilan Gugur Jika Pemeriksaan Pokok Perkara Digelar Hakim Pengadilan Tipikor
Alasannya, emiten konstruksi sudah memperoleh pembayaran dari pemerintah. "Kami masih optimistis emiten konstruksi cukup bagus dengan proyek-proyek yang sudah selesai," kata dia.
Emiten konstruksi memang perlu mencermati manajemen cashflow. Jika cost of fund emiten konstruksi turun, maka pasar akan merespons positif hal tersebut.
Sentimen lain yang tak kalah penting, menurut Alfred, adalah terkait holding emiten konstruksi BUMN. Skema holding belum terlalu jelas.
Hambatan terhadap diversifikasi usaha anak BUMN tersebut menjadi salah satu pertimbangan pasar, maka menurut Maka wajar jika saat ini pasar memilih keluar dan wait and see di saham konstruksi.
Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri