Membenahi Tata Kelola Waktu Bongkar Muat Logistik di Pelabuhan
Jokowi dibuat geram karena tidak pasti dan lamanya dwelling time di pelabuhan. Meskipun dibanding tahun sebelumnya
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Salah satu tantangan reformasi birokrasi yang menjadi perhatian Presiden Jokowi adalah permasalahan aruslogistik di Indonesia, khususnya di pelabuhan. Permasalahan ini mulai mencuat kepermukaan ketika Jokowi melakukan inspeksi mendadak pad apertengahan 2015 lalu di PelabuhanTanjung Priok Jakarta.
Jokowi dibuat geram karena tidak pasti dan lamanya dwelling time di pelabuhan. Meskipun dibanding tahun sebelumnya, durasi dwelling time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia sudah membaik, yaitu rata-rata 3,2 hari (Kemenhub, 2017), namun capaian tersebut masih kalah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (0,5-1,5 hari) dan Malaysia (2 hari).
Jokowi menginginkan agar dwelling time Indonesia mendekati atau sama dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Terakhir, Jokowi menginstruksikan dwelling time harus bisa diturunkan lagi menjadi rata-rata 2 hari.
Haris Faozan, Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi – Lembaga Administrasi Negara, menyatakan bahwa reformasi meringkas dwelling time atau durasi waktu bongkar muat logistik di pelabuhan Indonesia mutlak diperlukan mengingat arus logistik di pelabuhan Indonesia belum efektif. Sumbatan dari tingginya angka dwelling time dapat berdampak terhadap harga barang yang menjadi tidak terkendali di pasar, utamanya di wilayah perbatasan dan pelabuhan.
Haris menyampaikan bahwa lamanya proses dwelling time dikhawatirkan sengaja dibuat untuk membuat celah korupsi atau pungli. Sudah bukan rahasia lagi, mata rantai birokrasi dibuat rumit dan lama, sehingga pengguna jasa harus mengeluarkan biaya tambahan jika menghendaki proses dipercepat. Ini yang berbahaya, karena membiarkan pelabuhan menjadi sarang pungli.
"Sudah cukup banyak kasus pungli yang terkuak di Pelabuhan. Beberapa diantaranya, pada Maret 2016, terbongkarnya kasus mega pungli di Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Komura Samarinda yang diduga meraup keuntungan hingga Rp 2,4 triliun,' kata Haris kepada Tribunnews.com, Jumat (8/12/2017).
Modus operandinya dengan memungut tarif jasa TKBM kepada para pengusaha. Kasuslain, ditetapkannya 2 tersangka oknum Bea Cukai pada November 2016 atas dugaan suap dan pemerasan yang dilakukan kepada para importir yang melakukan pengurusan jasa importasi di PelabuhanTanjung Emas Semarang.
Berdasarkan penelusurannya, Naufal Sabda Auliya, peneliti LAN, berpendapat bahwa ada dua pemicu lain, yaitu biaya logistik nasional yang tinggi dan sistem transportasi yang belum memadai. Porsi biaya logistik dapat mencapai 40% dari harga ritel barang dan konektivitas angkutan barang belum berkembang di seluruh Indonesia yang membuat sering terjadinya kelangkaan barang, harga yang bergejolak, danserbuanimpor.
Dari temuan tersebut, Haris menyampaikan perlunya tiga upaya mendasar untuk mempersingkat dwelling time.
Pertama, dengan meningkatkan transparansi proses arus barang dan jasa, dengan menggunakan barcode pada setiap komoditi yang terdeteksi secara digital pada setiap masuk dan keluar tahapan sehingga dapat ditelusuri pada tahap mana terjadi kemacetan arus barang. Hal ini memudahkan pengawasan arus barang dan penelusuran permasalahan.
"Kedua adalah menegakkan reward and punishment, dengan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku pungli, misalnya peringatan pertama adalah diskors, peringatan kedua dimutasi, tidak perlu hingga peringatan ketiga," kata Haris.
Dukungan teknologi informasi pada langkah pertama sangat diperlukan agar penegakan disiplin tepat sasaran.
Upaya reformasi yang ketiga adalah tidak sederhana, yakni meringkas proses keterlibatan berbagai lembaga dengan menggunakan Indonesia National Single Window (INSW) yang menghubungkan semua Kementerian dan Lembaga yang terkait dalam satu sistem, sehingga proses layanan transparant, mudah diakses, mudah dilacak, namun keamanan arus barang dan jasa tetap terjamin.