Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Karpet Merah Untuk Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Asing

Dengan memiliki cakupan nasional, para anggota APJII memiliki minimum komitment pembangunan di 5 kota dalam 5 tahun.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Karpet Merah Untuk Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Asing
henry lopulalan/stf

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kominfo tengah memiliki hajat besar yaitu membuat Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo mengenai Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Nantinya dengan adanya RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini, akan diikuti dengan pencabutan 16 Peraturan Menteri eksisting. 

Meski uji publik RPM ini terkesan disembunyikan dan waktu uji publiknya terbilang sangat singkat (8 hingga 12 Desember 2017), bukan berarti draft embrio regulasi yang mengatur penyelenggaraan jasa telekomunikasi sepi dari protes. Salah satu lembaga yang menentang keras lahirnya rancangan permen tersebut adalah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

Jamalul Izza, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mengatakan, organisasi yang dipimpinnya merasa keberatan dengan adanya RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Dalam Pasal 31 ayat 3 disebutkan, Penyelenggara Jasa Telekomunikasi yang menyelenggarakan Layanan Akses Internet (Internet Service Provider/ISP) dilarang menyelenggarakan Layanan Akses Internet (Internet Service Provider/ISP) diluar cakupan wilayah layanannya. Selain itu keberatan APJII terdapat pada diwajibkannya perusahaan ISP ini memiliki ketersambungan dengan dengan NAP terdekat di wilayahnya.

Menurut Jamal keberatan atas aturan itu disebabkan anggota APJII rata-rata memiliki lisensi dengan cakupan nasional. Dengan memiliki cakupan nasional, para anggota APJII memiliki minimum komitment pembangunan di 5 kota dalam 5 tahun.

Lebih lanjut Jamal menuturkan sebelum adanya rancangan PM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, anggota APJII dapat dengan leluasa menggembangkan wilayah bisnisnya. Namun dengan adanya RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini keleluasaan anggota APJII semakin dibatasi. Anggota APJII tak bisa melayani permintaan masyarakat di luar komitment pembangunan yang telah dibuat sebelumnya.

“Padahal kita dituntut untuk dapat melayani seluruh kebutuhan masyarakat akan internet. Presiden Jokowi sendiri bilang seharusnya birokrasi tidak mempersulit dunia usaha. Kenapa RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini justru mempersulit kita. Padahal anggota APJII membantu program pemerintah dalam penetrasi internet yang telah berjalan dengan baik,” keluh Jamal.

Jamal menegaskan bahwa seluruh anggota APJII menolak RPM menggenai Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Penolakkan ini bukan tanpa alasan.

Berita Rekomendasi

Menurut Jamal jika Kominfo memaksakan aturan ini dijalankan, maka akan membuat industri ISP di Indonesia semakin sulit. Pentolan APJII ini berharap Kominfo mau mencabut pasal di RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi tersebut yang berpotensi menggangu industri ISP di Indonesia.

Selain membuat industri ISP tertekan, Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, menilai RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini membuat industri telekomunikasi di Indonesia semakin liberal. Ini dapat dilihat dari pemberian lisensi dengan mudah bagi penyelenggara jasa telekomunikasi yang hanya melalui proses seleksi dapat mepemberian lisensi harus melalui proses evaluasi. Bukan seleksi.

Menurut Ridwan seharusnya pelayanan jasa teleponi dasar harus diatur. Jangan dibuat bebas sebesa-bebasnya. Pemberian lisensi harus dibatasi dengan proses seleksi. Selain itu dalam RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi juga dibuka peluang para penyelenggara jasa telekomunikasi mendapatkan penomoran. Seharusnya penomoran diberikan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Jika para penyelenggara jasa telekomunikasi ini diberikan lisensi dan penomoran yang sebebas-bebasnya, Ridwan yakin industri telekomunikasi nasional akan rusak. Para penyedia jasa telekomunikasi bisa memiliki layanan teleponi dasar tanpa harus membuat jaringan. Sehingga operator penyedia jaringan yang telah ada bisa dipaksa untuk menyewakan jaringannya kepada pengusaha penyedia jasa telekomunikasi.

“Seharusnya berdasarkan UU Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah yang ada para penyelenggara jasa yang beroperasi di Indonesia harus memiliki jaringan baru bisa melakukan penjualan jasa telekomunikasi. Sehingga jasa itu ikut jaringan. Bukan jaringan yang mengikuti jasa. RPM ini liberal sekali dan membuka peluang MVNO,”terang Ridwan.

Dengan adanya mobile virtual network operator (MVNO) akan membuat bertambahnya persaingan di industri telekomunikasi. Para penyedia jasa telekomunikasi multinasional dapat dengan mudah menjadi penyedia jasa teleponi dasar. Jika ini sampai terjadi, rencana pemerintah untuk melakukan konsolidasi industri telekomonikasi nasional tak akan tercapai.

Melihat aturan yang akan dibuat oleh Kominfo tersebut terlalu liberal dan memberikan karpet merah bagi operator asing untuk beroperasi di Indonesia, Ridwan menilai RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi tak layak untuk dijadikan regulasi. Selain terlalu liberal, RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi juga bertentangan dengan UU Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah yang ada.

“Jika ingin agar regulasi yang ada mengikuti perkembangan dan evolusi di industri telekomunikasi seharusnya Kominfo melakukan revisi UU Telekomunikasi. Bukan membuat peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UU,”terang Ridwan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas