Soal Harga Batu Bara untuk Listrik, Pengamat Acungkan Jempol untuk Jonan
Keputusan Menteri ESDM Ignasius Jonan soal harga batu bara khusus untuk kelistrikan mendapat acungan jempol Mamit Setiawan dari Energi Watch.
Editor: Content Writer
Keputusan Menteri ESDM Ignasius Jonan soal harga batu bara khusus untuk kelistrikan mendapat acungan jempol Mamit Setiawan dari Energi Watch.
Menurut Mamit, keputusan Jonan itu layak diapresiasi karena tidak mudah menentukan patokan harga batu bara untuk kebutuhan dalam negeri ( Domestic Market Obligation / DMO) khususnya kelistrikan, yang bisa diterima pengusaha batu bara di satu sisi, dan PT PLN di sisi lain. Mengingat harga batu bara di pasar internasional yang sedang melambung tinggi hingga di atas US$ 100 per ton.
Hari ini, Jumat (9/3/2018) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan harga batubara untuk listrik nasional senilai US$ 70 per ton. Penetapan tersebut ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang Harga Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Harga jual batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan mengacu pada Harga Batubara Acuan (HBA). Saat harga batubara naik maka PLN membeli batubara dari pengusaha dengan harga US$ 70 per ton. Begitupun sebaliknya, jika harga turun, PLN tetap membeli dengan nominal tersebut.
Direktur Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, bukan perkara mudah untuk pemerintah, dalah hal ini Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Kepmen tersebut, mengingat didalamnya menyangkut kepentingan bisnis dan kepentingan hajat hidup masyarakat.
"Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada Menteri ESDM atas diterbitkannya Kepmen 1395/2018 yang mengatur tentang HBA untuk PLTU dalam negeri sebesar US$ 70 per ton. Dan apabila nanti harga lebih rendah dari US$ 70 per ton, maka PLN tetap membeli dengan harga US$ 70 per ton,” ucap Mamit.
Mamit meyakini bahwa Menteri Jonan telah melalui pertimbangan yang panjang dan melibatkan pengusaha dan PT PLN dengan kepentingannya masing-masing. Pengusaha dengan kepentingan bisnis, PLN dengan kepentingan masyarakat yakni mempertahankan tarif listrik tidak naik sesuai arahan Presiden Jokowi.
“Pada akhirnya Jonan mampu menghasilkan formula yang menjembatani kepentingan keduanya. Memang kedua pihak mengorbankan sebagian kepentingannya, tapi saya kira ini titik temu yang paling optimal,” jelas Mamit.
Menurut Mamit, angka US$ 70 per ton memang masih di atas ekspektasi PLN. Namun PLN bisa bernapas lega karena jauh di bawah HBA atau harga pasar. PLN bisa bernapas lega karena saat ini PLTU yang menggunakan batu bara sebagai energi primer sebanyak 59.06 persen.
“Dengan HBA yang ditentukan ini jelas akan sangat berpengaruh terhadap kondisi keuangan PLN menjadi lebih sehat lagi ditengah keinginan pemerintah untuk tidak menaikan Tarif Dasar Listrik sampai 2019,” ujarnya.
Untuk itu Mamit mengajak masyarakat menyambut baik kebijakan tersebut. Pasalnya dengan keputusan itu tarif listrik tetap terjaga dan daya beli masyarakat tetap terlindungi, serta imbasnya industri pun tetap berjalan kompetitif.
Di sisi lain, kebijakan ini juga tidak terlalu memberatkan pengusaha karena memang volume maksimal untuk pembangkit hanya 100 juta ton per tahun. Selain itu juga, pengusaha yang menjual batubara untuk kepentingan listrik nasional akan diberikan tambahan produksi sebesar 10 persen jika memenuhi persyaratan yang ditentukan.
“Harga US$ 70 per ton tidak akan merugikan pengusaha lantaran masih diatas biaya produksi per ton mereka,” pungkas Mamit. (*)