Pengamat: Investasi BPJS Ketenagakerjaan Sudah Sesuai Aturan
selama ini dalam melakukan investasi, BPJS Ketenagakerjaan terikat pada aturan yang telah ada,
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mengkritik kebijakan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto yang telah menyisihkan sekitar Rp 73 triliun untuk mendukung program pembangunan infrastruktur melalui penerbitan surat utang.
Meski demikian, kritikan tersebut ternyata salah alamat. Pasalnya, pola investasi yang selama ini dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan ternyata telah sesuai dengan regulasi yang ditetapkan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu imbal hasil yang diberikan selama ini dinilai juga sangat menguntungkan pekerja.
Pengamat jaminan sosial Hotbonar Sinaga menilai selama ini dalam melakukan investasi, BPJS Ketenagakerjaan terikat pada aturan yang telah ada, salah satunya Peraturan OJK (POJK) No 1 tahun 2016. Begitu juga dengan investasi di sektor infrastruktur tentunya juga mengikuti aturan tersebut.
"Kalau saya lihat investasi sebesar Rp 73 triliun di obligasi masih sesuai aturan yakni POJK No 1 tahun 2016," ujar Hotbonar di Jakarta, Minggu (1/4/2018).
Mantan Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) itu juga menilai kinerja direksi BPJS Ketenagakerjaan saat ini sangat baik karena mampu meningkatkan hasil investasi mencapai Rp 6,68 triliun pada periode Februari 2018 lalu.
"Sejauh ini sangat baik. Sepanjang tidak ada regulasi yang dilanggar sah-sah saja dan tidak ada risiko," kata Hotbonar.
Komentar serupa ditegaskan anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Irgan Chairul Mahfiz yang menilai tidak ada yang salah terkait pola investasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
"Saya kira selama tidak melanggar aturan tidak masalah, karena dana yang ada di BPJS Ketenagakerjaan juga harus diinvestasikan agar bisa menghasilkan untung bagi pekerja. Kalau tidak diinvestasikan justru akan mandeg," tegasnya.
Irgan percaya bahwa Direksi BPJS Ketenagakerjaan akan secara profesional menginvestasikan dana sesuai aturan yang berlaku. "Kalau tidak sesuai aturan maka tidak profesional. Kalau itu sampai terjadi baru kita harus pertanyakan," ujarnya.
Dia juga menyarankan agar dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan bisa berkembang, tetapi tetap bisa memajukan perekonomian bangsa dan menguntungkan pekerja, sebaiknya investasi bisa dilakukan kepada hal yang menyentuh kebutuhan pekerja seperti membangun apartemen bagi pekerja dengan sistem beli atau sewa.
"Ini sangat membantu pekerja tetapi juga bisa menguntungkan BPJS Ketenagakerjaan," katanya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar juga melihat selama ini instrumen investasi BPJS Ketenagakerjaan dibatasi oleh berbagai regulasi baik PP maupun Peraturan OJK.
Menurut Timboel, tentunya instrumen investasi yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dibatasi oleh berbagai regulasi baik PP maupun Peraturan OJK. Soal dana kelolaan dana BPJS Ketenagakerjaan untuk membeli SBN minimal 50 persen memang diatur di Peraturan OJK No.1 tahun 2016.
"Dana untuk membeli SBN tersebut yang akan menambal defisit APBN, dan nantinya dana tersebut dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur. Jadi dana Rp 73 triliun tersebut bukan untuk penyertaan langsung ke proyek Infrastruktur tapi melalui instrumen SBN," jelasnya.
Mewakili suara pekerja, Timboel juga sangat mendukung jika dana buruh yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan digunakan untuk menambal defisit APBN.
"Saya kira baik juga agar pemerintah tidak menarik pinjaman lebih besar lagi pinjaman dari luar negeri. Pemerintah bisa memanfaatkan sumber pendanaan yang ada di dalam negeri. Namun demikian saya berharap dana buruh yang dikelolaa BPJS Ketenagakerjaan bisa lebih maksimal lagi dikelola, sehingga bisa memberikan YOI yang lebih besar lagi, dibandingkan YOI di 2017. Dengan YOI yang lebih besar lagi, dana kelolaan tersebut bisa dikembalikan kepada buruh (sesuai prinsip SJSN ke sembilan) untuk menunjang kesejahteraan buruh," tegasnya.
Melonjak 100 Persen
BPJS Ketenagakerjaan sendiri baru merilis kinerja pengelolaan dana BPJS Ketenagakerjaan periode Februari 2018 yang hasilnya cukup menggembirakan, dimana total realisasi hasil investasi per 28 Februari 2018 mencapai sebesar Rp 6,68 triliun.
Hasil ini hampir mencapai dua kali hasil pengembangan di periode yang sama tahun 2017 sebesar Rp 3,44 triliun.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja menjelaskan kinerja tersebut diperoleh dari penambahan iuran, strategi pengelolaan dana yang tepat dan kondisi pasar yang sangat mendukung.
"Strategi Investasi yang kami lakukan selalu berorientasi pada hasil yang optimal untuk peserta, dengan risiko yang terukur, serta tentu saja mengutamakan aspek kepatuhan dan kehati-hatian", tambahnya.
Utoh menyampaikan penempatan dana yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan hanya diperbolehkan pada instrumen dan batasan investasi yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015.
Ditambah lagi ada beberapa Peraturan OJK yang mengatur batasan penempatan pada Surat Berharga Negara, seperti POJK Nomor 1 Tahun 2016, POJK 36 Tahun 2016 dan POJK 56 Tahun 2017.
Total dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan saat ini sebesar Rp 324,9 Triliun, dengan rincian aset alokasi sebagai berikut : deposito (10%), surat utang (60%), saham (19%), reksadana (10%), dan investasi langsung (1%).
Dana kelolaan tersebut diinvestasikan pada berbagai segmentasi sektor, seperti: sektor keuangan, pertambangan, aneka industri, transportasi, dan infrastruktur.
Segmentasi penempatan pengelolaan dana pada instrumen terkait sektor infrastruktur per 28 Februari 2018 sebesar Rp 73,25 triliun. Investasi ini bersifat tidak langsung, melalui instrumen surat utang (obligasi) dan saham.
Dari jumlah tersebut, paling besar ditempatkan pada Surat Berharga Negara mencapai 45%, Obligasi dan Saham BUMN terkait sektor infrastruktur sebesar 55%.
Dari pengelolaan investasi diatas, BPJS Ketenagakerjaan memberikan hasil pengembangan Jaminan Hari Tua (JHT) periode Februari 2018 kepada peserta sebesar 9.59%. Hasil pengembangan tersebut lebih baik dari tingkat suku bunga counter rate deposito bank pemerintah periode yang sama.
"Kami selalu mengutamakan kepentingan peserta, setiap investasi yang dilakukan pasti telah melalui proses kajian fundamental, teknikal, manajemen risiko dan compliance yang komprehensif. Namun peserta juga harus memahami, hasil pengembangan dapat fluktuatif sesuai dengan kondisi pasar," tutur Utoh.