Kwik: Penerbitan Surat keterangan Lunas ke Obligor Sangat Berbahaya, Saya Dua Kali Menentang
Dengan lancar Kwik memberikan penjelasan di depan majelis hakim, jaksa KPK dan kuasa hukum terdakwa mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Kwik Kian Gie, hadir menjadi saksi di kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kamis (5/7/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kwik Kian Gie hadir dengan kemeja biru muda. Dengan lancar Kwik memberikan penjelasan di depan majelis hakim, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dan kuasa hukum terdakwa mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam persidangan jaksa KPK mempertegas posisi Kwik Kian Gie pada 2004, dimana kala itu dia menjabat di Bappenas serta ex officio KKSK. Jaksa juga sempat menanyakan siapa presiden RI kala itu? Kwik Kian Gie menjawab Megawati.
"Saksi selaku ketua Bappenas, pernah diminta pendapat terkait dengan Pemberian Surat Pelepasan atau Surat Keterangan Lunas (SKL)? ," tanya Jaksa KPK.
"Tidak. Bahkan sebaliknya tentang penerbitan SKL sendiri yang tidak khusus prisip bahwa pemerintah menerbitkan SKL saya sangat menentang dan saya berhasil menggagalkan dua kali," jawab Kwik Kian Gie.
Dia menjelaskan ketika ketiga kalinya dilakukan sidang kabinet terbatas, dia kalah. Dimana saat sidang dibuka, menurutnya semua menteri dari semua penjuru menyudutkannya hingga dia tidak berdaya.
Baca: Menteri-menteri Jokowi Ramai-ramai Maju Jadi Caleg
"Saya langsung menghadapi apa yang disebut total football. Saat sidang ketiga dibuka, semua menteri menghantam saya sehingga saya tidak berdaya lagi untuk mengemukakan argumentasi bahwa penerbitan SKL sangat berbahaya dan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari dan akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar," tegasnya.
Sebelumnya saat masih proses penyidikan di KPK, Kwik Kian Gie juga sempat diperiksa soal SKL yang dikeluarkan Kepala BPPN saat itu, Syafruddin kepada BDNI pada 2004, padahal utangnya belum lunas. Termasuk ditanya juga soal korupsi dan pencegahannya.
Baca: China Mengklaim Hanya Bikin Aksi Balasan, AS yang Duluan Memprovokasi Perang Dagang
Dalam perkara ini, terdakwa Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun. Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti (mantan Ketua Komite Kenijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang sahan BDNI pada 2004.