Pemerintah Didorong Menjaga Industri Padat Karya Agar Sektor SKT Bisa Bertahan
pemerintah perlu didorong menjaga industri padat karya untuk ketersediaan lapangan kerja
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) menggelar diskusi bertajuk "Menyelamatkan Industri dan Pekerja Rokok Kretek Tangan” di Jakarta Pusat, Rabu (25/4/2018).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM SPSI) Sudarto, Anggota Komisi III DPR RI, Abdul Kadir Karding, dan Enny Sri Hartati, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Dalam pemaparannya, Sudarto mengatakan dalam kurun waktu 9 tahun industri rokok kretek mengalami penurunan hingga 50 persen.
Pekerja yang paling berdampak adalah sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT). Pada umumnya pekerja SKT adalah mereka dengan aspek pendidikan yang minim.
"Tidak mungkin mereka bisa bersaing dengan yang lain jika ada kesempatan kerja," ucapnya dalam diskusi tersebut.
Pekerja Indonesia dengan karakter seperti itu, kata dia, masih banyak dan terus terancam. Bahkan, kini ancamannya bukan sekadar potensi lagi.
Perubahan karakter konsumen dan teknologi ditambah dengan kebijakan pemerintah membuat banyak industri menyesuaikan diri. Dampak penyesuaian itu lagi-lagi menyasar pekerja berketerampilan rendah.
Solusi untuk masalah itu tidak bisa satu sisi. Harus ada penyelesaian komprehensif agar tidak terkesan ada kebijakan tambal sulam.
Kasus penutupan ribuan pabrik SKT yang berujung PHK sedikitnya 32.000 pelinting adalah satu di antara contoh.
Pabrik-pabrik gulung tikar karena multifaktor. Perubahan regulasi pemerintah, kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor pemicu penutupan itu.
"Berdasarkan cerita dari yang sudah di-PHK, mereka dagang ini dagang itu, menjadi buruh cuci, itu mereka lakukan dari pada tidak kerja. Maka harus ada upaya preventif untuk melindungi industri ini," ucap Sudarto.
Karena itu, pemerintah perlu didorong menjaga industri padat karya. Selain untuk ketersediaan lapangan kerja, penjagaan itu juga demi keberlangsungan dan kepastian investasi di Indonesia.
Adapun Abdul Kadir Kading, mengatakan regulasi pemerintah menekan pelaku industri SKT dari berbagai sisi. Pemerintah terus menerus mengubah kebijakan cukai sehingga industri SKT dalam kondisi dilematis.
Sebab, menaikkan produksi berarti meningkatkan porsi pembayaran cukai. Peningkatan itu akan membebani keuangan sehingga sulit dipilih. Di sisi lain, pelaku industri SKT akan kesulitan menyediakan pasokan ke pasar jika tidak meningkatkan produksi.
"Tingginya harga rokok karena tingginya cukai menyebabkan pengurangan permintaan tembakau lokal, dan juga pengurangan tenaga kerja di SKT," ucap Kadir Kading.
Kondisi itu juga menekan pelinting atau para pekerja SKT. Penghasilan mereka tergantung insentif yang dihitung dari seberapa banyak lintingan setiap hari. Jika produsen menahan produksi, insentif mereka juga akan tertahan.
Enny Sri Hartati ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan dari beberapa jenis rokok, SKT memberikan value besar terhadap perekonomian Indonesia. Selama 2013-2017 jumlah penurunan SKT menurun 22,63%. Penurunan SKT itu mampu mempengaruhi PDB -0,82%, upah riil -1,24%, inflasi 0,41%, konsumsi rumah tangga -0.96%.
"SKT perlu affirmative policy," ucapnya.
Ekonom INDEF ini memberikan solusi atas penurunan SKT. Pertama, mengurangi PPh. Kedua, menyusun tarif cukai yang proposional, cukai SKT harus lebih rendah dari cukai SKM dan SPM golongan manapun. Ketiga, fasilitas dan intensif untuk mendorong ekspor.
"Serta meniadakan regulasi yang membebani industri kelas menengahnkecil agar mampu berkompetisi dengan industri besar," ucapnya