Bankir Miliarder Jacob Rothschild Prihatin, Sistem Keuangan Global Makin Buruk Pasca PD II
Dinasti perbankan tersebut khawatir bahwa reli pasar saham selama 10 tahun akan berakhir begitu saja.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Bankir miliarder Jacob Rothschild menyampaikan keprihatinannya terkait sistem keuangan global yang dibangun setelah Perang Dunia II.
Selain dirinya, bahkan para bankir miliarder lainnya juga menilai perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta krisis zero Euro sebagai masalah utama yang menempatkan resiko pada tatanan ekonomi.
"Pada 11 September dan dalam krisis keuangan 2008, kekuatan dunia bekerjasama melalui pendekatan umum, namun kerjasama hari ini terbukti jauh lebih sulit, hal ini membahayakan keamanan ekonomi dan keamanan pasca perang," kata Rothschild.
Ia menegaskan peringatannya itu dalam raihan setengah tahun hasil investasinya.
Dalam sektor ekonomi, tatanan pasca perang biasanya mengacu pada sistem manajemen moneter yang menyebabkan kenaikan dolar AS sebagai mata uang dominan.
"Terkait keadaan ini, kebijakan kami adalah untuk mempertahankan eksposur kami yang terbatas pada ekuitas dan untuk masuk ke dalam komitmen baru dengan sangat hati-hati," jelas Rothschild.
Baca: Indeks Saham Juga Masih Dibayangi Sentimen Negatif Akibat Krisis Mata Uang Turki
Dilansir dari laman Russia Today, Selasa (14/8/2018), investasi RIT Capital Rothschild secara historis memiliki 47 persen keterpaparan terhadap pasar saham.
Dinasti perbankan tersebut khawatir bahwa reli pasar saham selama 10 tahun akan berakhir begitu saja.
"Siklus ini berada pada tahun ke-10 yang positif, menjadi rekor terlama, tapi kami sekarang melihat beberapa area pertumbuhan yang lebih lemah telah muncul, memang IMF baru-baru ini memperkirakan adanya beberapa perlambatan," papar bankir investasi itu.
Rothschild kemudian menyebut tingkat utang 'berpotensi merusak' Eropa dan memperdagangkan perang sebagai masalah utama bagi ekonomi global.
Ia menambahkan, "kemungkinan masalah ini akan berlanjut di pasar negara berkembang, dan itu akan diperparah oleh meningkatnya suku bunga dan kebijakan moneter Fed AS yang telah menguras likuiditas dolar secara global,".
Menurutnya, kurangnya tanggapan internasional yang terkoordinasi terhadap tantangan global tidak mungkin terjadi di era pemimpin populis dan proteksionis seperti Presiden Donald Trump.