Bebani Keuangan Negara, FITRA Sesalkan Maraknya Penyalahgunaan Solar Bersubsidi oleh Industri
Penyalahgunaan solar bersubsidi saat ini marak terjadi di berbagai wilayah. Di Pulau Jawa, temuan penyalahgunaan terjadi di Blora, Karawang dan Tuban.
Editor: Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Selatan, Nunik Handayani, menyesalkan terjadinya kebocoran dalam penyaluran solar bersubsidi ke masyarakat seperti saat ini marak terjadi di berbagai daerah.
Nunik menyatakan, penyalahgunaan itu akan memunculkan efek domino yang tidak kecil.
“Akibatnya sangat luas. Tidak hanya keuangan negara yang terdampak namun masyarakat sebagai pemilik hak solar bersubsidi juga harus menanggung beban,” kata Nunik dalam keterangan tertulisnya Rabu (22/8/2018).
Baca: Kota Denpasar Jadi Saksi Pertarungan Sengit Builder Custom Bike Contest AKhir Pekan Ini
Penyalahgunaan solar bersubsidi saat ini marak terjadi di berbagai wilayah. Di Pulau Jawa, temuan penyalahgunaan terjadi di Blora, Karawang dan Tuban.
Sementara di luar Jawa, antara lain terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Di berbagai lokasi tersebut, industri yang seharusnya membeli solar industri yang dijual dengan harga komersial, nekat menggunakan solar bersubsidi yang sebenarnya dilarang.
Nunik menambahkan, dampak terhadap keuangan terjadi karena solar merupakan barang subsidi.
Menambah beban
Praktik penyalahgunaan tersebut membuat Pertamina harus menambah suplai solar bersubsidi sehingga otomatis menaikkan tingkat konsumsinya.
Baca: Fuso Kembali Kampanye Hashtag di Media Sosial untuk Beasiswa untuk Anak Sopir Truk
Meski sudah ada alokasi kuota, biasanya Pertamina tetap menambah jumlah pasokan jika mendapat informasi bahwa terjadi kelangkaan. “Ini kan ironis, karena kelangkaan terjadi disebabkan subsidi yang tidak tepat sasaran,” kata Nunik.

Beban yang harus ditanggung masyarakat akibat kebocoran solar bersubsidi, lanjut Nunik, adalah ketersediaan solar bersubsidi menjadi langka. Harga jualnya, terutama di tingkat eceran, menjadi melonjak dan itu membebani masyarakat.
“Akibatnya subsidi yang seharusnya diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak tercapai. Masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra untuk BBM, dan itu bisa diambil dari pos-pos lain di dalam rumah tangga, misalnya pos untuk pendidikan. Menyedihkan bukan,” ungkap Nunik.
Polisi harus tegas
Nunik mendesak aparat yang terkait pengawasan, agar bekerja lebih optimal, terutama di daerah seperti Sumatera. Jika perlu pengawasan juga ditingkatkan ke daerah yang lebih terpencil, karena potensi kebocoran juga semakin tinggi.
"Di daerah-daerah perbatasan, terpencil dan susah aksesnya, pasti terkena dampak biaya kemahalan, karena biaya distribusinya yang tinggi. Peluang itu semakin besar jika kebocoran solar bersubsidi juga semakin marak,” papar Nunik.
“Badan-badan yang mestinya berfungsi sebagai pengawasan harus melaksanakan dengan maksimal,” Nunik mengingatkan