Rizal Ramli Sebut Tak Cukup Stabilkan Rupiah Hanya dari Kebijakan Moneter
Pemerintah harus merespons dinamika ekonomi yang terjadi dengan kebijakan di depan kecenderungan (ahead of the curve) sebagaimana yang dilakukan bank
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ekonom Rizal Ramli menilai perlu adanya kebijakan menyeluruh yang dilakukan pemerintah untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah yang sudah terdepreriasi 10 persen sejak awal tahun ini ke posisi Rp 14.910 per dolar Amerika Serikat.
Baca: Lima Poin Penting Dewan Pertimbangan MUI Terhadap Ancaman Bangsa
Langkah itu, kata Rizal tidak hanya mengandalkan kebijakan otoritas moneter dengan menaikkan bunga acuan, melainkan juga di sektor riil, ekspor-impor, hingga kebijakan ekonomi secara umum.
Penyataan itu disampaikan Rizal Ramli, dalam acara diskusi perihal bagaimana Indonesia menghadapi tantangan ekonomi di masa depan, Rabu (26/9/2018) di Jakarta.
Rizal menuturkan, pemerintah harus merespons dinamika ekonomi yang terjadi dengan kebijakan di depan kecenderungan (ahead of the curve) sebagaimana yang dilakukan bank sentral.
“Kami salut kepada Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang proaktif, di depan kecenderungan, karena dia naikan tingkat bunga duluan, itu menolong memperbaiki ekspektasi ekonomi. Tapi tidak bisa memperbaiki ekonomi hanya mengandalkan BI, karena ada batasnya,” kata Rizal Ramli.
Sebab, menurut Mantan Menteri Keuangan ini, jika Bank Indonesia terlalu banyak menaikkan tingkat bunga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Misalnya (BI naikkan suku bunga) sampai 4 persen, kredit macet pasti tinggi, peredaran kredit berkurang, ekonomi yang tadinya diprediksi tumbuh 5,2 persen bisa 4,5 persen,” imbuhnya.
Rizal juga mengkritisi salah satu kebijakan pemerintah yang membatasi impor terhadap 1.147 barang konsumsi yang dinilainya belum berdampak cukup signifikan, karena barang tersebut menurutnya ‘ecek-ecek’ seperti bedak, lipstik, hingga tasbih yang jika dikalkulasi, dengan adanya kebijakan tersebut, impor bisa berkurang 500 juta dolar AS.
Hal itu, tentu belum bisa membantu menyelesaikan defisit transaksi berjalan Indonesia seperti yang terjadi pada triwulan kedua 2018 sebesar 8,0 miliar dolar AS atau 3,04 persen Produk Domestik Bruto.
“Kenapa ga fokus ke yang gede-gede, 10 impor indonesia yang paling besar, contoh baja dan turunan baja, nilai impornya 10 miliar dolar AS,” imbuhnya.
Sebab saat ini, katanya, banyak pabrik baja dalam negeri yang merugi lantaran serbuan impor baja dari China yang dijual dengan harga yang lebih rendah. “Ambil dong kebijakan tarif anti-dumping misalnya, kalu dilakkan cina kita impor baja bisa kita kurang 5 miliar dolar AS,” tuturnya.