Catatan Akhir 2018: Gejolak Rupiah di Tahun Anjing Tanah
Jika ditilik berdasarkan tren, sepanjang triwulan pertama 2018, laju kurs rupiah bergerak pada kisaran Rp 13.542 – Rp 13.756 per dolar AS.
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Choirul Arifin
Pihaknya sudah belajar dari krisis moneter di tahun 1998 dan pertengahan tahun 2.000an. Dengan melakukan lokalisasi tersebut, kata Prijono sangat membantu perseroan saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Ini membantu (saat terjadi) pelemahan rupiah ke dolar AS. Kita beruntung lakukan lokalisasi, sehingga sekarang ini utilisasi factory Astra hampir dipakai semua," kata Prijono saat jumpa pers di Menara Astra Jakarta.
Menurut Priyono, pelemahan nilai tukar dialami negara-negara lain, tidak hanya Indonesia. Depresiasi Rupiah masih lebih rendah dibandingkan negara sebanding, seperti India, Brazil, Turki dan Rusia. Faktor menguatnya dolar Amerika Serikat dan pengetatatan likuiditas menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara emerging yang menyebabkan tekanan pada nilai tukar mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Kalau mata uang harus melihatnya mata uang ini bukan hanya Indonesia yang kena, kalau kita ada depresiasi 12 persen semenjak Desember tahun lalu, saya tidak bilang ini normal, ini tentu mengganggu, tapi ini bukan akhir dari dunia,” ujar Prijono.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik BPS Yati Kurniati mengatakan, sejumlah industri yang rentan terdampak pelemahan nilai tukar Rupiah seperti industri kimia dan farmasi, industri tekstil, makanan dan minuman lebih memilih untuk menekan marjin daripada menaikkan harga di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah.
“Berdasarkan survei kami, mereka belum mengubah harga jual tapi menurunkan marjin, tapi dia juga tidak mau sampai rugi,” kata Yati di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Bank Indonesia, telah menempuh sejumlah kebijakan moneternya untuk meredam gejolak Rupiah dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7day Reverse Repo Rate. Sepanjang 2018, bank sentral telah menaikkan suku bunga sebesar 175 basis poin pada Mei hingga Desember 2018 dari level 4,50 persen menjadi 6,00 persen. Namun, dalam Rapat Dewan Gubernur pada 19-20 Desember 2018, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate di level 6 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut, kebijakan mempertahankan suku bunga acuan tersebut telah mempertimbankan kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve yang menaikkan suku bunga acuannya pada 19 Desember 2018 sebesar 25 basis poin menjadi jadi 2,25-,2,5 persen maupun dalam beberapa bulan ke depan.
“Kami turut mencermati arah kebijakan The Fed yang sebelumnya kami perkirakan akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali, tapi pada 2019 mengarah dua kali,” kata Perry, di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Selain itu, kebijakan mempertahankan suku bunga di level 6 persen, kata Perry juga telah memperhitungkan defisit transaksi berjalan pada triwulan keempat. Pasalnya, pada November 2018, neraca perdagangan mengalami defisit sebesar 2,05 miliar dolar AS. Defisit itu disebabkan lantaran pertumbuhan ekonomi global yang melandai dan komositas ekspor yang menurun. “BI meyakini tingkat suku bunga masih konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik dan mempertimbangkan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan,” kata Perry.
Mewaspadai Ketidakpastian Global
Bank Indonesia menyatakan tekanan nilai tukar Rupiah pada Desember lantaran dipengaruhi kembali meningkatnya ketidakpastian global serta permintaan valuta asing musiman untuk kebutuhan akhir tahun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, pihaknya terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap mendorong berjalannya mekanisme pasar dan mendukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan. “BI mewaspadai risiko teridakpastian global, dengan mendorong berjalannya mekanisme pasar,” kata Perry di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta.
Sebelumnya, pada November lalu, Rupiah sempat menguat 6,29 persen dibandingkan level bulan sebelumnya. Penguatan itu dipengaruhi oleh aliran masuk modal asing yang cukup besar akibat dampak positif perekonomian domestik yang tetap kondusif dan eskalasi ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok yang sempat mereda.
Tidak hanya itu, Perry mengatakan, kebijakan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) juga turut andil menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Saat ini, dari sisi volume maupun transaksi supply demand DNDF terus bergerak lebih baik.
Bank Sentral juga akan terus memantau perkembangan dinamika global, baik hubungan perdagangan AS dan China, kenaikan suku bunga The Fed, hingga kondisi di kawasan Eropa. Bank Indonesia juga akan melakukan intervensi pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah ke depannya.