Jam Kerja Kurang Fleksibel, Ini Penjelasan Menaker Hanif Dhakiri
Menaker Hanif Dhakiri menegaskan kajian Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan ekosistem ketenagakerj
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan RI M Hanif Dhakiri menegaskan kajian Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan ekosistem ketenagakerjaan.
Dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) bidang Ketenagakerjaan Tahun 2019, ia menyoroti waktu kerja yang selama ini diterapkan di Indonesia, yakni 8 jam per hari.
Hanif kemudian menyebutkan contoh pemberlakuan jam kerja yang bisa disesuaikan, yakni pada industri ritel.
Ia menjelaskan, para pelaku industri ritel tidak keberatan jika para tenaga kerja mereka bekerja kurang dari 8 jam pada saat hari kerja (weekdays).
Baca: Menteri Hanif Soroti Pentingnya Kajian Terhadap UU 13 Tahun 2019 tentang Ketenagakerjaan
"Kalau kita bicara sama teman-teman dari industri ritel itu mereka bilang kalau di weekdays di hari-hari biasa itu mereka mau kok, mereka terima kalau karyawannya bekerja di bawah delapan jam," ujar Hanif, dalam rakornasi yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (8/1/2019).
Jam kerja yang berkurang itu bisa diganti saat masa libur akhir pekan (weekend), "tapi ketika weekend, mereka pengen karyawannya bekerja lebih dari delapan jam,".
Namun keinginan para pelaku industri ritel itu tentunya bertentangan dengan ketentuan pemerintah yang menetapkan bahwa para tenaga kerja bekerja 8 jam per hari.
Baca: UPDATE Tewasnya Devi Setiani di Hotel Bersama Pria: Selain Kepala Hancur, Ada Lendir di Rahim Korban
Dan jika diakumulasikan, maka dari Senin hingga Jumat mereka bekerja selama 40 jam.
"Tapi hal kayak gitu nggak bisa dilakukan karena aturan kita delapan jam sehari dan 40 jam seminggu," kata Hanif.
Ia pun kembali memaparkan jam kerja yang ingin diterapkan dalam industri ritel hanya mengalami pergeseran waktu kerja.
Pada akhirnya, jumlah jam kerja per pekan akan tetap seperti ketentuan pemerintah yakni 40 jam seminggu.
"Kalau misalnya 40 jam seminggu nya akumulatif, nah itu misalnya Senin sampai Kamis kerjanya 6 jam, kemudian libur sehari (Jumat), terus sabtu sama minggu nya itu kerjanya 10 jam, kan sama-sama 40 jam juga seminggu," papar Hanif.
Namun, itu semua terbentur pada ketentuan yang telah ditetapkan.
Sehingga itu berpengaruh pada ekosistem ketenagakerjaan.
"Tapi ini nggak bisa, karena itu melanggar ketentuan delapan jam per hari," tegas Hanif.