Rasio Utang Terhadap PDB Masih Rendah, Sri Mulyani Klaim Pernyataan IMF Tak Relevan Bagi Indonesia
Sri Mulyani mengatakan, rasio utang Indonesia terhadap gross domestic product (GDP) masih 30 persen.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Mochammad Fauzan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dana Moneter International alias International Monetary Fund (IMF) baru saja memangkas lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2019 dan 2020.
IMF memangkas pertumbuhan ekonomi global pada 2019 menjadi 3,5% dari prediksi sebelumnya 3,7% dan tahun 2020 menjadi 3,6% dari 3,7% .
IMF menekankan perlunya negara-negara anggotanya menjaga keseimbangan fiskal dengan mengurangi defisit demi menurunkan utang.
Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pernyataan tersebut tidak berlaku bagi Indonesia karena rasio utang Indonesia terhadap gross domestic product (GDP) masih 30 persen.
"Untuk standar internasional itu rendah sekali," kata dia, Selasa (22/1/2019).
Sri Mulyani melanjutkan, defisit perdagangan Indonesia juga rendah di bawah 1,8%, termasuk defisit yang kecil bila dibandingkan negara lain yang debt to GDP mereka di atas 60% dan defisit negara lain bisa di atas 2%.
Ia mencontohkan Italia saat ini memiliki debt to GDP ratio di atas 100%, tapi mereka masih menginginkan defisit di atas 2,4%. "Nah untuk negara seperti inilah pernyataan IMF berlaku," tandasnya.
Baca: Chatib Basri: Ada 60 Juta Kelas Menengah di Indonesia, Sangat Cerewet Soal Urusan Layanan Publik
Menurut dia, Indonesia sudah mencapai GDP di atas 5% dan defisitnya di bawah 2%. "Jadi tidak relevan bagi Indonesia statement IMF itu," tuturnya.
Meski begitu Sri Mulyani mengakui, mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini tidaklah mudah. Ada sejumlah tekanan yang timbul.
Antara lain seperti ketidakpastian perdagangan global, pelemahan pertumbuhan ekonomi global, membuat perdagangan internasional juga diproyeksikan hanya tumbuh 4% yang sebelumnya diharapkan di atas 4,7%.
Kemudian, penutupan sebagaian pemerintah Amerika Serikat (AS) turut memperlemah momentum pertumbuhan ekonomi global. "Itu berarti di advanced country (negara maju) akan mengalami pelemahan dan Tiongkok juga harus meng-adjust ekonominya karena sudah menunjukkan adanya tanda-tanda perlambatan,"ucapnya.
Ia menambahkan, IMF juga mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi China dalam menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.