P3RSI Desak PerMen dan PerGub Perhimpunan Penghuni Rusun Dicabut
Kedua aturan tersebut dinilai memicu kontroversi di tingkat pelaksanaan sehingga menyebabkan konflik baru dan membuat ketidakpastian hukum
Editor: Eko Sutriyanto
Sementara di PerMen, pengurus baru dibentuk setelah masa kepengurusan yang sedang berjalan selesai masa tugasnya.
“Ada kepengurusan yang baru terbentuk 3-6 bulan sekarang harus dirombak, istilahnya mulai dari nol. Pengurus sudah berjalan, sudah ditunjuk dan dipercaya pemilik atau penghuni, ini kok tidak dianggap. Ada juga apartemen yang keuangannya enggak bagus, kalau rapat lagi butuh biaya lagi,” papar Danang.
Ketiga, adalah soal hak suara. P3RSI mempertanyakan ketentuan one man one vote. Menurut Danang, negara dan peraturan tidak ada melarang orang memiliki unit apartemen lebih dari satu. Dengan aturan di PerGub ini, maka hak warga menjadi dibatasi. Padahal kewajiban yang ditanggung dan dikeluarkan setiap bulan untuk pemeliharaan gedung (service charge) berbeda.
“Yang punya unit banyak tentu banyak juga kewajibannya, tetapi haknya cuma satu. Mereka diperlakukan tidak adil,” ujar dia.
P3RSI menegaskan bahwa semua anggota dan pengurus rusun yang bernaung di bawahnya adalah pemilik dan penghuni. Oleh karena itu pihaknya heran dengan maraknya pemberitaan di media massa yang menyebutkan adanya intervensi pengembang dalam pengelolaan apartemen.
Danang menegaskan kalau sudah dibentuk PPPSRS, maka tidak ada lagi urusan dengan pengembang karena seluruh unit dan pengelolaan sudah diserahterimakan kepada pemilik atau penghuni.
Harapkan Dialog
Sementara itu, Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, Amran Nukman menyatakan apresiasi kepada Gubernur Anies Baswedan yang memberikan perhatian kepada warganya. Tetapi sebagai warga DKI Jakarta, pengembang mengharapkan juga adanya perhatian.
“Sebagai pengembang, sebagai warganya boleh kiranya beliau juga mengundang kami. Atau kami yang mengundang beliau, sehingga Pak Gubernur mendapat informasi yang berimbang. Di REI DKI saat ini ada 400 pengembang yang sebagian besar membangun rusun atau apartemen, kami pun turut ikut berperan dalam pembangunan Ibukota,” ujar Amran.
Ditambahkan, sebenarnya peran pengembang adalah sebagai pelaku pembangunan.
Setelah rumah atau apartemen dibangun, kemudian dijual dan diserahterimakan kepada pembeli. Pengelolaan dan lingkungan kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah untuk rumah tapak, dan untuk apartemen diserahkan kepada PPPSRS. Memang berdasarkan UU, pengembang harus memfasilitasi terbentuknya perhimpunan penghuni.
“Kalau sudah selesai terjual disitu, pengembang biasa pindah membangun tower baru atau memikirkan pengembangan di tempat lain. Jadi kami tidak dapat apa-apa disitu,” jelas dia.
Amran mengaku miris membaca pemberitaan yang justru menjadikan pengembang sebagai sasaran tembak dalam kisruh di beberapa pengelolaan rumah susun di DKI Jakarta.
Isu yang dihembuskan itu tidak punya korelasi, karena pengelolaan sudah ranah yang berbeda di luar peran pengembang sebagai pelaku pembangunan.
“Ada baiknya supaya kesalahpahaman ini tidak berkelanjutan, kami dari REI DKI berharap bisa bertemu Pak Gubernur, duduk bareng untuk mendapatkan informasi yang berimbang secara beradab pula. Kami berharap semua pihak dapat menahan diri, sehingga tidak membuat kekisruhan di masyarakat,” harap Amran.