KSSK Masih Waspadai Efek Perang Dagang AS-China
Dana Moneter Internasional (IMF) sudah menurunkan 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto
Penulis: Ria anatasia
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil rapat evaluasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan, kondisi ekonomi Indonesia pada triwulan II-2019 terjaga secara baik.
Meski begitu, Ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan berbagai faktor yang perlu diwaspadai, antara lain tekanan eksternal yang berasal dari perang dagang Amerika Serikar dan China.
"Eksternal masih perang dagang AS-Tiongkok berpotenai melebar ke negara-negara lain yang jadi hub Tiongkok ekspor ke AS," ujarnya saat konferensi pers di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Lebih lanjut dia menjelaskan, perang dagang bisa berdampak pada perdagangan internasional dan mengakibatkan pelemahan prospem pertumbuhan ekonomi global.
"IMF (Dana Moneter Internasional) sudah turunkan 0,5 persen dari GDP (Produk Domestik Bruto)," ucapnya.
Baca: Tak Ada Bilik Asmara, Begini Cara Barbie Kumalasari Lepas Kangen dengan Galih Ginanjar
Selain itu, lanjut Sri Mulyani, Indonesia perlu mewaspadai ketegangan yang terjadi antara Jepang dan Korea Selatan.
"Termasuk tensi dari negara Jepang dan Korrsel. Ekonomi global melemah situasi itu tekan harga komoditas termasuk migas," jelasnya.
Baca: Bikin Heboh Sampang! Robi yang Disebut-sebut Hidup Lagi, Kuburannya Kini Ditutup Warga
Selain faktor eksternal, Indonesia perlu waspada terhadap faktor internal yaitu defisit neraga perdagangan.
"Kita juga akan melihat terutama kinerja sektor riil pasca 2018 yang kita harapkan harus mendapatkan suatu momentum pada semester II, tantangan itu akan kami terus pantau," tutur dia.
Untuk itu, lanjut Sri Mulyani, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjaminan Simpanan terus memperkuat koordinasi antar lembaga guna menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
"Kebijakan dilakukan fiskal di Kementerian Keuangan kemudian moneter di bawah BI dan makroprudensial dan keuangan dan lembaga keuangan di bawah OJK, tentu dengan LPS sesuai undang-undang," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.