Komisi IX DPR: Pengawasan Lebih Muda Jika Batasan Produksi SKM dan SPM Digabung
Pemerintah perlu segera merealisasikan usulan penggabungan SKM dan SPM demi menciptakan aturan cukai yang berkeadilan.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setuju jika dilakukan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun.
DPR beralasan, langkah itu akan membantu mengoptimalkan penerimaan negara, sekaligus memudahkan pemerintah melakukan pengawasan terkait pengenaan tarif cukai sesuai golongan dan batasan produksinya.
Anggota DPR Komisi IX DPR Mafirion Syamsuddin dalam keterangan tertulisnya menyatakan, pemerintah perlu segera merealisasikan usulan penggabungan SKM dan SPM demi menciptakan aturan cukai yang berkeadilan.
Mafirion Syamsuddin berpendapat, kebijakan ini akan menghindarkan perusahaan rokok besar berbuat nakal, sengaja menekan volume produksi demi menghindari pengenaan cukai maksimal oleh pemerintah.
"Penggabungan batasan produksi SKM dan SPM akan membuat pengawasannya menjadi lebih mudah,” ujar Mafirion.
Baca: Penumpang Lion Air Ngamuk karena Penerbangan Delay Akibat Kabut Asap
Pendapat serupa sebelumnya juga disampaikan anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib. Najib menilai, penggabungan SKM dan SPM perlu dilakukan agar tidak ada lagi pabrikan besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah.
Dengan langkah penggabungan, potensi kehilangan pendapatan negara dari cukai dapat diminimalisir.
Baca: Khawatir Rumah Terbakar, Warga Minta Massa Mahasiswa Mundur dari Pemukiman
“Prinsip dalam sebuah kebijakan itu salah satunya adalah asas keadilan. Jangan menganut asas menyeluruh dengan menyisakan celah untuk dimanfaatkan,” ungkap Ahmad Najib.
Mafirion menjelaskan, saat ini terdapat beberapa perusahaan besar asing yang memproduksi SKM dan SPM lebih dari 3 miliar batang per tahun.
Baca: Mengintip Rumah Wah Anang dan Ashanty di Cinere yang Dijual, Semewah Apa Coba?
Namun, mereka hanya membayar tarif cukai golongan II yang 40 persen lebih murah ketimbang tarif golongan di atasnya.
Dia menilai hal ini membuat persaingan antar pabrikan rokok menjadi tidak sehat, dan tidak mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok.
Dia mencontohkan ada merek rokok putih tertentu dijual dengan harga Rp 26.000 dengan tarif cukai hanya Rp 370.
Pihaknya juga menemukan ada rokok yang dijual Rp 24.500 tapi dengan tarif cukai Rp 625.
Mafirion menekankan, Pemerintah perlu meninjau ulang definisi perusahaan besar atau kecil pada kebijakan cukai rokok saat ini.
Dia juga meminta Kementerian Keuangan meninjau ulang rencana penggabungan batasan produksi SKM dan SPM serta merumuskan kebijakan cukai yang melindungi tenaga kerja segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT).