Pembangunan Infrastruktur Gas Bumi Masih Terkendala Tingkat Keekonomian Proyek
Pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia masih terkendala tingkat keekonomian proyek.
Penulis: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia masih terkendala tingkat keekonomian proyek.
Selain Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Pertagas, nyaris tak ada perusahaan yang bersedia terlibat dalam urusan infrastruktur gas bumi.
"Selama ini yang jadi masalah itu (tingkat keekonomian proyek pipa gas). Pemerintah harus mendorong agar tingkat keekonomian proyek infrastruktur gas jadi prioritas," kata Pengamat Energi dari Reformer Institute Komaidi Notonegoro.
Infrastruktur, lanjut dia, menjadi tantangan dalam pemanfaatan gas bumi. Terlebih sumber gas bumi di Tanah Air banyak ditemukan di Indonesia timur.
"Banyaknya cadangan gas bumi di wilayah Timur, sementara konsumen terbesar di bagian barat. Inilah yang membuat proyek energi menjadi tidak ekonomis," ujar Komaidi.
Sejatinya ada regulasi terkait percepatan pembangunan infrastruktur gas bumi. Regulasi itu adalah Kementerian ESDM sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 14/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM No. 58/2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Bumi.
Aturan yang diundangkan pada 20 September 2019 itu akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Sesuai ketentuan yang baru, umur keekonomian proyek dihitung selama minimal 30 (tiga puluh) tahun sejak penetapan Harga Jual Gas Bumi Hilir yang pertama.
Baca: Hingga September 2019, PGN Raup Laba Bersih Rp 1,82 Triliun
Pada aturan sebelumnya umur keekonomian proyek pipa hanya 15 tahun.
Perpanjangan umur keekonomian proyek pipa akan berpengaruh pada toll fee gas. Sementara biaya angkut gas merupakan salah satu komponen pembentuk harga gas.
Hal ini sesuai Pasal 4 Permen 58/2017 yakni harga jual gas bumi hilir dihitung menggunakan formula, yakni harga gas bumi ditambah biaya pengelolaan infrastruktur gas bumi dan biaya niaga.
Komaidi menyatakan, pembentukan Sub-holding gas bumi antara PGN dan Pertagas merupakan langkah yang tepat. Dengan penggabungan dua entitas bisnis di sektor gas nasional ini diharapkan pembangunan infrastruktur akan lebih cepat dan meluas.
“Semoga ke depan makin efektif dan efisien pengembangan infrastruktur gas ini. Hal itu penting untuk memperkuat ketahanan energi nasional,” katanya.
Selama ini dengan di Indonesia gas yang berasal dari berbagai sumber, baik gas dari sumur maupun LNG, harga yang dipasarkan kepada konsumer bervariasi mulai USD 9 - USD 10 per MMBtu.
Sementara berdasarkan data sejumlah lembaga energi terkemuka seperti Woodmack (2018) dan Morgan Stanley (2016), di Singapura konsumen industrinya membeli gas berkisar USD 12,5-USD 14,5 per MMBtu. Sementara industri di Cina harus membayar lebih mahal lagi yaitu mencapai USD 15 per MMBtu.