Cerita Maskapai Garuda Indonesia yang Pernah Nyaris Bangkrut
Sebagai BUMN, nasib bisnis Garuda Indonesia tak luput dari pasang surut pergantian rezim pemerintah
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) belakangan jadi sorotan publik. Ini setelah Menteri BUMN Erick Thohir melakukan bersih-bersih di Garuda buntut kasus penyelundupan moge Harley Davidson dan sepeda Brompton yang dilakukan direksinya.
Sebagai maskapai flag carrier, Garuda Indonesia memiliki catatan sejarah panjang. Bahkan sejak perang kemerdekaan, saat pesawat jenis Dakota RI-001 Seulawah disumbangkan rakyat Aceh jadi armada pertama Garuda.
Baca: Pergantian Direksi Garuda Dilakukan pada Pertengahan Januari 2020
Baca: Curhat Pramugari Garuda Indonesia Soal Jam Kerja, Sampai Opname, Bersyukur Ari Askhara Dipecat
Baca: IKAGI Laporkan Penindasan Ari Askhara ke Erick Thohir, Paling Sengsara hingga 8 Orang Ambruk!
Sebagai BUMN, nasib bisnis Garuda Indonesia tak luput dari pasang surut pergantian rezim pemerintah.
Seperti diberitakan Harian Kompas, 26 Januari 1999, badai krisis moneter dan tahun-tahun setelahnya jadi masa-masa paling pelik yang dialami perusahaan ini. Perusahaan bahkan hampir bangkrut lantaran beban utang yang terlampau berat.
Utang yang menggunung ini diperparah dengan kinerja keuangan yang buruk dan banyaknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN). Ibaratnya, untuk bernafas pun sulit.
Menteri Pendayagunaan BUMN saat itu, Tanri Abeng, sampai turun gunung mencurahkan banyak perhatian, supaya perusahaan negara itu jadi prioritas pertama untuk diselamatkan.
Tunjuk Robby Djohan jadi dirut
Langkah pertama yang dilakukannya yakni menunjuk Robby Djohan di pucuk pimpinan Garuda.
"Begitu saya duduk di sini, langsung saya tahu bahwa Garuda Indonesia harus diberi prioritas utama dari BUMN-BUMN lainnya. Kalau tidak, Garuda akan collapse. Mungkin tiga atau empat bulan," tutur Tanri Abeng saat itu.
Hingga Agustus 1998, utang Garuda masih tercatat Rp 828 miliar ditambah 377 juta dollar AS kepada 50 bank pemerintah dan asing. Bila kurs dollar Rp 10.000, berarti total utangnya berkisar Rp 4,6 triliun.
Sedang piutangnya hanya Rp 2,7 triliun, berasal dari piutang agen/ tiket, allowance para vendor dan penggunaan jasa Garuda Maintenance Facility (GMF).
Keadaan jadi lebih gawat lagi mengingat sebagian besar pengeluaran dan investasi jangka panjangnya, dibiayai dengan pinjaman jangka pendek. Dari utang tersebut, hanya Rp 346 miliar dan 53 juta dollar AS tercatat sebagai utang jangka panjang Garuda.
BUMN ini harus gali lubang tutup lubang mencari utang jangka panjang untuk menutupi utang jangka pendeknya. Namun dalam kondisi di mana krisis kepercayaan dipertanyakan, sulit kiranya untuk memperoleh utang yang dicari tersebut.
Terkejut Garuda untung Rp 200 miliar
Kendati dalam kondisi yang sangat sakit, Robby Djohan secara mengejutkkan bisa memperbaiki kinerja Garuda setelah genap tiga bulan mengambil alih kepemimpinan.
Dalam laporan yang dirilis, Garuda Indonesia bulan Agustus bisa meraup laba Rp 200 miliar.
Banyak yang tidak percaya, mengingat selama bertahun-tahun BUMN ini terkenal selalu merugi.
untung! "Uangnya benar ada, bukan rekayasa," tegas Robby ketika ditemui di ruang kerjanya menanggapi respon sumir publik saat ini.
Robby menjelaskan, perolehan laba tersebut sebenarnya bukan hal istimewa. Sebab, di bulan peak season Agustus-September, umumnya Garuda Indonesia memang selalu untung dari penerbangan internasional.
Rata-rata pada bulan peak season itu, load factor Garuda mencapai 87 persen banding 55-60 persen di bulan-bulan lain.
Dari pendapatan jalur internasional kedua bulan tersebut, bila dikurskan dengan nilai dollar yang sedang meroket (waktu itu), laba Garuda memang jadi lumayan besar sampai Rp 200 miliar.
Namun diingatkan pada bulan low season, load factor Garuda hanya berkisar 40-55 persen, sehingga angka musim peak season bukanlah patokan. Diakuinya bahwa dirinya bukanlah pesulap yang dapat mengubah Garuda langsung meraup untung seketika.
"Namun sekarang Garuda sudah enak, sudah gampang. Nggak ada lagi KKN keluarga Soeharto segala itu," lanjut Robby di tengah acara penyerahan enam pesawat baru Boeing 737-300/-500, 2 Januari 1999.
Lanjut dia, fungsi manajemen bisa berjalan dengan benar. Program golden handshakes (pensiun dini) pun berjalan dengan lancar sehingga perumahan tahap pertama 1.596 tenaga kerja, dengan total pesangon Rp 110 miliar berlangsung mulus.
Estafet dirut ke Abdul Gani
Usai kondisi Garuda mulai perlahan membaik, posisi dirut beralih mulus kepada Abdul Gani, yang tentunya dengan persetujuan Tanri Abeng.
"Pak Gani sama saya sudah berkompetisi (di perbankan) selama 30 tahun, jadi saya tahu bahwa dia itu nggak orang enteng!" tegas Robby Djohan mengenai penggantinya.
Saat itu, kata Tanri Abeng, kredibilitas Garuda sudah mulai pulih sehingga Bank Exim AS dan pabrik Boeing, serta Pemerintah Indonesia sendiri mendukung pengadaan Boeing 737 senilai 368 juta dollar AS.
Pengadaannya merupakan refleksi dari kredibilitas direksi dan dewan komisaris Garuda yang baru.
Memuji direksi dan dewan komisaris Garuda, Tanri Abeng mengatakan, pengadaannya tidak mungkin kalau tanpa kredibilitas yang dibangun oleh Garuda Indonesia.
Kredibilitas memang kata kuncinya seperti pernah diucapkan Wiweko Soepono, mantan direktur utama yang pernah pegang kendali Garuda selama 16 tahun (1968-1984).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Garuda yang Pernah Nyaris Bangkrut"