Turunkan Tarif Tiket Pesawat Tanpa Kajian Dinilai Bisa Membahayakan Penerbangan
Kementerian Perhubungan tidak boleh menekan maskapai penerbangan untuk menurunkan tarif pesawat tanpa didasarkan pada analisa yang benar.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Perhubungan tidak boleh menekan maskapai penerbangan untuk menurunkan tarif pesawat tanpa didasarkan pada analisa yang benar.
Kemenhub justru harus introspeksi diri mengapa tarif pesawat mahal, bukan terus menyalahkan maskapai.
“Apabila pemerintah memaksakan tarif pesawat turun sehingga maskapai menjadi rugi, berarti masyarakat dibiarkan menggunakan maskapai yang tidak sehat sehingga membahayakan keselamatan,” kata Bambang Haryo Soekartono, praktisi dan pemerhati masalah transportasi logistik kepada pers, Senin (9/12/2019).
Dia menanggapi Menhub Budi Karya Sumadi yang menyebutkan tarif pesawat akan turun 30% pada Senin-Kamis setiap minggu hingga Februari 2020.
Menhub mengaku sudah mendapat komitmen itu dari Garuda Indonesia, yang diyakini bakal diikuti maskapai lainnya.
Baca: Khawatir Tiket Pesawat Mahal saat Nataru, Kemenhub Hanya Sebatas Beri Imbauan ke Maskapai
Sebagai penyedia sarana transportasi, tutur Bambang Haryo, maskapai penerbangan bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa dan barang publik yang diangkutnya, sehingga harus mendapatkan tarif yang cukup dan transparan.
Dia mengingatkan, pemerintah khususnya Kemenhub harusnya introspeksi diri kenapa tarif pesawat mahal dan maskapai mengalami kerugian.
Bahkan, maskapai sekelas Garuda Indonesia pun pernah mencatat kerugian hingga Rp3 trilun pada 2017 dan Rp1,6 trilun pada 2018, padahal saat itu tarif pesawat relatif tinggi.
“Kita tidak ingin kerugian ini terulang dan tambah besar,” tegasnya.
Menurut Bambang Haryo, tarif pesawat yang tinggi saat ini bukan sepenuhnya kesalahan maskapai, melainkan justru akibat kebijakan pemerintah terutama Kemenhub dalam mengelola transportasi udara.
Dia menganalisa, setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan tarif pesawat menjadi mahal.
Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah melonjak lebih dari 60% dari sekitar Rp9.000 pada 2012 menjadi Rp14.000 pada 2019.
Depresiasi rupiah berdampak terhadap peningkatan tarif pesawat akibat lonjakan harga komponen pesawat, avtur, MRO, utang, dan biaya lain yang masih banyak mengacu ke dolar AS.
“Solusinya, ekonomi harus diperbaiki supaya rupiah kembali menguat, kalau ekonomi masih lesu ya susah.”
Kedua, walaupun harga avtur diturunkan tetapi konsumsi bahan bakar itu tetap tinggi sebab pesawat yang akan mendarat di semua bandara komersial masih harus antre atau holding. Avtur yang dihabiskan untuk holding ini bahkan lebih besar daripada insentif avtur untuk maskapai.