RUU Ketahanan Keluarga: Hunian Layak Masih Jadi Persoalan Keluarga Muda
Faktanya, kepemilikan hunian layak tinggal masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh banyak keluarga.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang saat ini sedang ramai diperdebatkan mewajibkan pasangan yang sudah resmi menikah untuk memiliki tempat tinggal layak huni.
Draf RUU ini juga mengatur pemisahan kamar antara orang tua dengan anaknya dan antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Dari draf RUU Ketahanan Keluarga, setidaknya ada dua pasal mengatur soal tempat tinggal layak huni, yakni Pasal 33 dan 36. Pasal 33 mengatur tanggungjawab keluarga untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal layak huni termasuk memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orang tua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan perempuan.
Baca: Terkait Virus Corona, Pemerintah RI Buka Posko Untuk WNI di Korea Selatan
Sementara Pasal 36 mengatur agar pemerintah untuk memfasilitasi tempat tinggal layak huni untuk keluarga dengan memberikan bantuan.
Di antaranya bantuan dana renovasi rumah tidak layak huni, subsidi rumah layak huni bagi Keluarga yang tidak memiliki rumah, keringanan pinjaman kredit kepemilikan, pembangunan dan atau renovasi rumah tidak layak huni serta penyediaan rumah susun umum dan rumah bersubsidi yang layak huni.
Baca: Menhub Bakal Temui Jemaah Umrah yang Gagal Berangkat ke Arab Saudi
Ike Hamdan, Head of Marketing Rumah.com menyatakan bahwa fakta yang ditemukan selama ini dari berbagai informasi yang dihimpun adalah kepemilikan hunian layak tinggal masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh banyak keluarga.
Hal ini disebabkan oleh belum meratanya kemampuan finansial masyarakat dalam memiliki hunian yang layak untuk ditinggali. Bahkan banyak keluarga yang memilih untuk menyewa rumah berukuran kecil karena keterbatasan kondisi keuangan.
“Akan menjadi persoalan baru bagi masyarakat jika RUU Ketahanan Keluarga tersebut kemudian jadi diundangkan secara resmi oleh Pemerintah dan DPR. Ini karena konsekuensinya akan banyak keluarga harus memiliki hunian minimal dengan tiga kamar tidur. Sementara harga rumah atau hunian dengan tiga kamar tidur relatif lebih mahal dibandingkan rumah/hunian dengan dua kamar tidur,” jelas Ike.
Baca: Jessica Iskandar Sebut sang Ayah Alami 5 Tulang Rusuk Patah setelah Jadi Korban Tabrak Lari
Berdasarkan data yang dimiliki Rumah.com, menunjukkan bahwa harga minimum hunian dengan tiga kamar tidur di sejumlah kota besar di Indonesia berkisar antara Rp 550 juta hingga Rp 1 miliar.
Dari sejumlah kota besar seperti Jabodetabek, Medan, Bali, dan Surabaya, hunian dengan tiga kamar tidur harga minimum tertinggi berada di area Jakarta dan Bandung senilai Rp. 800 juta. Sementara harga minimum terendah berada di area Bogor, Depok, Kabupaten Bekasi dan Bali senilai Rp. 550 juta.
Data ini memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk mengetahui dinamika yang terjadi di pasar properti di Indonesia, karena merupakan hasil analisis dari 400.000 listing properti dijual dan disewa dari seluruh Indonesia, dengan lebih dari 17 juta halaman yang dikunjungi setiap bulan dan diakses oleh lebih dari 5,5 juta pencari properti setiap bulannya.
Sementara itu, berdasarkan data Rumah.com Consumer Sentiment Survey 2019, sebanyak 62% responden mengalokasikan anggaran sebesar Rp 500 juta untuk membeli hunian, sebanyak 17% mengalokasikan sedikit lebih besar, yakni Rp 500 juta hingga Rp750 juta, dan sisanya, sebanyak 21% di atas Rp 750 juta. Jika mengacu pada hasil survei ini, maka sebagian besar masyarakat belum mampu untuk membeli rumah dengan tiga kamar tidur.
Sementara dari data lainnya, penghasilan rata-rata pekerja dengan tingkat pendidikan sarjana adalah Rp 5 juta hingga Rp 8,5 juta per bulan dengan penghasilan tertinggi berada di Jakarta. Jika dianggap pembeli rumah adalah suami istri yang sama-sama bekerja, maka joint income rata-rata maksimal adalah Rp 17 juta.
Sehingga kalau kita mengikuti acuan bank di mana batas cicilan aman adalah 30% dari penghasilan, maka hunian yang dapat dicicil oleh pasangan sarjana di Jakarta, yang keduanya bekerja adalah Rp 570 jutaan. Ini tentunya di bawah harga minimum hunian tiga kamar tidur di Jakarta. Belum lagi jika ada masalah pengelolaan prioritas keuangan yang banyak gangguan.
Ike menambahkan saat ini, rata-rata perumahan di Indonesia terdiri dari dua kamar tidur, atau setidaknya persentase rumah dengan dua kamar tidur lebih banyak dibandingkan rumah dengan tiga atau lebih kamar tidur.
Rumah subsidi yang disediakan Pemerintah pun hanya menyediakan dua kamar tidur. Harga rumah dua kamar tidur pun relatif lebih terjangkau dan masuk ke kantong golongan kelas menengah, yang merupakan golongan terbesar di Indonesia.
Diahhadi Setyonaluri, Peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia menambahkan bahwa rumah layak huni bagi sebuah keluarga idealnya adalah rumah dengan luas yang cukup untuk memenuhi standar kesehatan.
"Seperti ventilasi yang baik, toilet dan kamar mandi bersih, kamar yang cukup untuk bergerak, dirancang untuk memudahkan ruang gerak penghuni terutama bila memiliki disabilitas, serta berlokasi di tempat yang dekat dengan berbagai fasilitas pendukung."