Ekspor Dilarang, Penambang Kelimpungan Jual Bijih Nikel
Meidy Katrin Lengkey mengungkap ada sebanyak 3,8 juta nikel dengan kadar 1,7 persen menumpuk tak tahu harus diapakan.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia secara resmi melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020.
Larangan ekspor ini tentunya berdampak pada bijih nikel (ore) yang siap dikirim ke luar negeri akhirnya terhenti.
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkap ada sebanyak 3,8 juta nikel dengan kadar 1,7 persen menumpuk tak tahu harus diapakan.
"APNI mendata di 7 provinsi itu ada sekitar 3,8 juta nikel ore kadar 1,7 persen yang saat ini berhenti. Nggak tahu mau diapain, kalau kita tumpuk bisa jadi pulau kali," tutur Meidy dalam acara Dialog Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) bertema Prospek Industri Nikel dalam Negeri, Jakarta, Jumat (28/2/2020).
Menumpuknya ore juga disebabkan oleh smelter-smelter lokal yang tak mau menyerap kualitas nikel di bawah kadar 1,8 persen.
"Masalahnya smelter nggak terima. Disinilah kami meminta keadilan. Pemerintah tolong dong bisa mendukung program hilirisasi. Kami mendukung hilirisasi," sambungnya.
Penghentian ekspor nikel juga belum didukung oleh regulasi yang memberikan perlindungan pada pengusaha tambang.
Oleh karenanya, APNI ingin pemerintah segera menetapkan harga nikel berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM).
Selain itu, APNI juga ingin pemerintah menetapkan surveyor yang independen, karena kasus belakangan yang dirasakan pengusaha tambang surveyor selalu berasal dari pihak smelter.
"Gimana bisnisnya bisa adil kalau surveyor dari smelter. Mestinya si penambang juga berhak menunjuk surveyor yang akan memeriksa nikel tersebut. Smelter mintanya nikel 1,8 persen. Dari kita seumpama sudah 1,8 persen, surveyornya bilang kurang 0,1 persen, kita bisa penalti 7 dolar AS," terang Meidy.