Terkait Mudik Lebaran, YLKI: Pemerintah Jangan Inkonsisten
Menurut Tulus, ketidakpastian pemerintah dalam menentukan arah terlihat dari tidak sinkronnya antar institusi pemerintah kementerian
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memandang pemerintah inkonsisten alias plin-plan untuk mengambil langkah kebijakan mudik lebaran 2020 yang syarat akan tradisi kultur di Indonesia.
Menurut Tulus, ketidakpastian pemerintah dalam menentukan arah terlihat dari tidak sinkronnya antar institusi pemerintah kementerian bahkan terkesan kontradiksi, apalagi dengan pemda.
"Pernyataan pejabat pemerintah saling bertabrakan. Contoh, pernyataan blunder jubir Presiden Fadjroel Rachman yang membolehkan mudik Lebaran, yang kemudian dianulir Mensesneg Pratikno atau Wapres Ma'ruf Amin menyatakan mudik haram melalui Fatwa MUI, tetapi Presiden Jokowi menyatakan boleh," tuturnya dalam pernyataan, Selasa (7/4/2020).
Baca: UPDATE Corona di Indonesia 7 April 2020: Hari Ini Rekor Tertinggi Tambahan Kasus Baru
Hal yang sama juga terjadi secara formal yakni Kementerian PAN RB melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) melakukan perjalanan mudik, namun Kemenko Kemaritiman dan Investasi justru 'kekeuh' mudik tetap diadakan.
YLKI mengkritisi bahwa kasus di atas membuktikan peran pemerintah masih terlalu dominan dalam kepentingan ekonominya.
Hal ini tidak sejalan dengan protokol kesehatan sebagai upaya untuk mengendalikan virus corona.
"Jika pemerintah memaksakan mudik lebaran, sekalipun dengan istilah pengendalian ketat. Hal itu akan berisiko tinggi," tegas Tulus.
Dampak diperbolehkannya mudik di kondisi pandemi Covid-19, para petani di daerah bisa terinfeksi sehingga endingnya mengancam pasokan logistik pangan.
Poin kritis kedua yang disampaikan YLKI adalah pengawasan di lapangan tidak semudah teori.
Bahkan secara praktik untuk membendung laju pemudik akan nyaris tidak bisa diimplementasikan.
"Lazimnya mudik cenderung crowded (ramai padat) sehingga sangat berat untuk mengontrol protokol kesehatan yang diterapkan. Misalnya mobil pribadi maksimal harus berpenumpang empat orang. Atau sepeda motor hanya boleh satu orang. Mudik itu acara keluarga, tak mungkin dipisahkan dengan pembatasan kapasitas penumpang kendaraan pribadi," ujar Tulus.
Terakhir, menurut Tulus, aparat hukum kepolisian ujungnya akan kompromistis, alias membiarkan pemudik motor berpenumpang dua orang atau lebih untuk jalan terus ke kampung halamannya.
Itu lantaran tidak tega jika suruh balik lagi ke Jakarta, pun demikian untuk kendaraan roda empat.