Faisal Basri: Usulan Cetak Uang Bisa Timbulkan Moral Hazard
"Cetak uang adalah opsi yang pernah dilakukan di masa orde lama dan berbagai negara. Hampir semua mengarah ke bencana," ujar Faisal
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang meminta agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebesar Rp 600 triliun untuk menangani dampak pandemi virus corona (Covid-19) terus menuai pro dan kontra.
Seperti yang disampaikan Ekonom Senior Faisal Basri yang menilai usulan itu cukup berisiko.
Dalam agenda Webinar ISPE Lecture yang digelar INDEF secara virtual, Senin (18/5/2020), ia mengatakan bahwa kebijakan cetak uang sebenarnya telah digunakan pada masa orde lama.
Namun saat itu yang terjadi adalah inflasi dan berdampak buruk bagi ekonomi negara.
Baca: Kata Sri Mulyani soal Usulan Cetak Uang, Sebut Penumpang Gelap hingga Menkeu Pelit
Baca: Dahlan Iskan Kembali Bicara Soal Usulan Cetak Uang, Bagi-bagi Jatah Itu Tidak Mudah. . .
Begitu pula negara lain yang turut menerapkan kebijakan ini, yang akhirnya menghasilkan 'solusi' yang buruk.
"Cetak uang adalah opsi yang pernah dilakukan di masa orde lama dan berbagai negara. Hampir semua mengarah ke bencana," ujar Faisal, pada kesempatan tersebut.
Selain itu, Faisal juga melihat ada indikasi kepentingan untuk mengamankan posisi sebagai politisi, dalam usulan cetak uang itu.
"Hal ini karena negara itu dikelola oleh politisi, mereka itu punya masa kepemimpinan sampai 5 tahun, kemudian dipilih kembali, jadi cara pandangnya itu sempit," kata Faisal.
Ia kembali menekankan bahwa jika usulan tersebut disetujui maka akan menimbulkan risiko moral atau moral hazard.
"Mereka cenderung ingin mengalihkan masalah ke masa di depannya, tidak diselesaikan pada masa mereka, spending-spending aja tapi tidak mau intensifkan ke penerimaan. Jadi ini adalah moral hazard yang terjadi," jelas Faisal.
Sementara itu Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai usulan Banggar DPR RI yang meminta BI melakukan pencetakan uang sebesar Rp 600 triliun untuk menangani dampak corona sebagai solusi yang tidak tepat.
Ia mengatakan bahwa tidak mudah bagi BI melakukan kebijakan moneter yang tidak lazim seperti itu.
"Usulan ini perlu dikaji secara hati-hati, karena nggak segampang itu BI cetak uang," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Kamis (7/5/2020) sore.
Menurutnya, harus ada underlying asset, karena nilai cetak uang yang diusulkan Banggar DPR bukan merupakan angka yang kecil.
Bhima kemudian menegaskan bahwa BI tidak bisa 'asal' mencetak rupiah karena nilainya tentu berbeda dengan dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi mata uang internasional karena pergerakannya yang relatif stabil.
"BI kan bukan Bank Sentral AS yang cetak dollar. Kalau rupiah dicetak, siapa yang mau pakai? Beda dengan dollar, dipakai 85 persen transaksi ekspor impor dunia," tegas Bhima.
Selain itu, kata dia, konsekuensi dampak terhadap inflasi juga perlu diperhitungkan.
Di tengah pandemi corona yang berdampak negatif pada semua sektor termasuk pangan, usulan seperti ini pun dianggap kurang ideal.
"Indonesia saat ini sudah dihadapi dengan prediksi krisis pangan, jangan lagi ditambah dengan potensi inflasi tinggi," kata Bhima.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI tidak akan mencetak uang demi menangani dampak corona.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam live streaming video conference terkait Perkembangan Ekonomi Terkini, Rabu (6/5/2020).
Menurutnya, hal tersebut bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang terbiasa dilakukan BI.
"Pandangan-pandangan BI (perlu atau tidaknya) mencetak uang, itu bukan praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan di Bank Indonesia," ujar Perry, pada kesempatan itu.
Perry menambahkan, kebutuhan masyarakat bisa diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Namun demikian, ia menekankan bahwa praktik ini tentunya harus sesuai dengan tata kelola Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang sekitar 8 persen. Kalau ingin tambah stok barangkali 10 persen, keseluruhan proses ini sesuai tata kelola dan diaudit BPK," kata Perry.
Perlu diketahui, sebelumnya Banggar DPR mengusulkan agar BI melakukan pencetakan uang dalam upaya menangani dampak corona.
Jumlah uang yang diusulkan untuk dicetak pun mencapai Rp 600 triliun.