Kenaikan Cukai dan Pandemi Dinilai Bisa Lemahkan Serapan Tenaga Kerja di Industri Strategis
Selama Januari-April 2020, CHT dipantau tumbuh dengan kontribusi 75,1 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama ini menjadi salah satu komponen penerimaan negara dengan tren yang selalu meningkat setiap tahunnya.
Selama Januari-April 2020, CHT dipantau tumbuh dengan kontribusi 75,1 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.
Di APBN, penerimaan cukai hasil tembakau berkontribusi pada penerimaan cukai, yakni Rp 43,33 triliun atau tumbuh 26,05% per 30 April 2020.
Dari sisi tenaga kerja, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2019, IHT menyerap tenaga kerja sebanyak 4,28 juta pekerja di industri manufaktur dan distribusinya.
Sektor tembakau juga menyerap sekitar 1,7 juta pekerja di perkebunan tembakau. Jumlah ini menempatkan sektor tembakau menjadi sektor kelima terbesar di tanah air dalam hal penyerapan tenaga kerja.
-
Baca: Pemanfaatan Pajak dan Cukai Rokok untuk Mempercepat Penanganan Stunting
-
Baca: DKI Masih Godok Wacana Pembukaan Tempat Hiburan Malam saat PSBB Masa Transisi
Hasil riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) pada 6 daerah penghasil tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah menyatakan, IHT menjadi industri yang mampu menyerap tenaga kerja perempuan dengan tingkat pendidikan dan skill yang relatif terbatas.
"Dalam berbagai tinjauan multidimensi, kenaikan CHT menjadi salah satu faktor terbesar bagi perusahaan melakukan rasionalisasi jumlah tenaga kerja setiap tahunnya,” tutur Putra Perdana, Ketua Tim Riset FOSES dalam paparan hasil riset Telaah Multidimensi Kenaikan Cukai terhadap Masa Depan Pekerja di Industri Hasil Tembakau, via aplikasi Zoom, Rabu (17/6/2020).
Penelitian FOSES menunjukkan, rencana penyederhanaan struktur tarif cukai memiliki dampak negatif terhadap industri dan tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dari simulasi penyederhanaan struktur tarif cukai model estimasi simplifikasi dari 10 layer ke 6 layer.
Hasilnya, setiap terjadi pengurangan 1 layer dari struktur tarif CHT akan berpotensi pada turunnya volume produksi rokok SKM sebesar 7 persen, SKT sebesar 9 persen dan SPM sebesar 6 persen.
“Simulasi jika penyederhanaan tarif CHT terus dilanjutkan, akan ada dampak pada tenaga kerja dan volume produksi rokok dengan arah koefisien negatif. Artinya, ada indikasi penyederhanaan tarif CHT dari 10 layer menjadi 6 layer berpotensi menurunkan tenaga kerja IHT sebesar 18,4 persen dan menurunkan volume produksi rokok sebesar 3,6 persen," sebutnya.
"Kami melihat implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selama periode 2015-2018 selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja di sektor IHT. PMK yang terbit tahun 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasi berkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77 persen, 4,26 persen dan 4,88 persen,” kata Putra.
Dia menjelaskan, sebelum terjadi pandemi Corona, tenaga kerja di IHT tidak mudah untuk dapat terserap oleh industri lainnya. Peningkatan jumlah angka pengangguran, pada akhirnya tentu akan semakin menambah beban negara.
Wawan Juswanto Analis Kebijakan Ahli Madya, Ketua Kelompok Analis Pajak Internasional, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menyatakan terkait kebijakan CHT pihaknya telah melalui prosedur panjang dan melibatkan stakeholders.
“Dari sana kami bisa memproyeksikan dampaknya apa saja dan bagaimana mitigasi risikonya, misalnya dengan alokasi DBH CHT dan Pajak Rokok ke Daerah, sampai yang terbaru, dukungan terhadap IHT selama pandemi Covid-19 melalui fasilitas penundaan pelunasan cukai untuk pembelian pita cukai sejak tanggal 8 April 2020 s.d. 9 Juli 2020 dengan jangka waktu penundaan 90 hari,” tutur Wawan.
Kasubdit Hubungan Kerja, Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Tenaga Kerja Sumondang menyatakan, perlu kehati-hatian dalam menetapkan besaran tarif cukai mengingat dampaknya yang bersifat multiplier effect, salah satunya terhadap bidang ketenagakerjaan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya Sulami Bahar menyatakan, kondisi ketenagakerjaan di perusahaan tembakau saat ini sangat sulit.
Di satu sisi, perusahaan diminta untuk terus membayar cukai yang tinggi, diiringi dengan pembatasan-pembatasan lainnya. Namun di sisi lain, industri ini diminta agar jangan sampai ada PHK dan tetap beroperasional.
“Saya berharap pemerintah bisa lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dalam menciptakan aturan pengendalian produk tembakau,” kata Sulami.